Minggu, 27 Juni 2010

Pengantar untuk Revolusi yang Dikhianati Edisi Bahasa Indonesia

Penerbitan Revolusi yang Dikhianati edisi Bahasa Indonesia adalah sebuah peristiwa yang penting dan patut dirayakan oleh seluruh kaum Marxis revolusioner dimanapun. Dengan populasi 230 juta, Indonesia adalah negara terpadat keempat di dunia. Indonesia memiliki populasi muslim yang terbesar di dunia. Tetapi ia juga memiliki satu sejarah yang revolusioner, yang ditandai oleh kepahlawanan yang besar dan tragedi yang pahit.

Karya ini terutama penting untuk Indonesia, dimana gerakan Komunis sangatlah kuat dahulu kala, dengan dukungan jutaan buruh dan tani. Partai Komunis Indonesia pada saat itu adalah partai komunis ketiga terbesar di dunia. Namun pada saat yang menentukan, partai ini luluh lantak. Tidak akan ada yang bisa mengetahui persisnya berapa kaum buruh dan tani Indonesia yang dibantai pada tahun 1965. Pembantaian ini mungkin adalah Holocaust yang paling kejam yang dialami oleh gerakan buruh dalam sejarah.

Dalang pembantaian ini adalah negara imperialis “demokratik” AS. Pembunuhan sistematis ini direncanakan dan diorkestra oleh CIA, dan dilaksanakan oleh agen-agen lokal mereka, yakni para jendral reaksioner Indonesia, yang memprovokasi angkara massa lumpenproletar dan memberikan arahan kepada mereka untuk membunuh kaum komunis Indonesia. Tetapi mereka bukanlah satu-satunya pihak yang bertanggungjawab.

Di tulisan yang lain, saya telah menjelaskan peran fatal yang dimainkan oleh para pemimpin PKI sendiri, yang dengan patuh menjalankan kebijakan “dua tahap”nya Stalinis, yang menundukkan kelas pekerja di bawah kaum borjuis nasional progresif dan Sukarno. Kebijakan yang keliru ini, yang mengakibatkan kekalahan pada tahun 1965, didikte, bukan di Washington, tetapi di Moskow dan terutama di Beijing.


Selama berpuluh-puluh tahun, gerakan komunis di Indonesia, seperti halnya di negeri-negeri yang lain, mengikuti garis Stalin. Para pemimpin komunis ini mengikuti setiap pelintiran dan tikungan yang didikte oleh Moskow, dan lalu oleh Beijing. USSR dan RRC dipuji sebagai model “sosialisme”. Namun pada akhirnya USSR runtuh dan Tiongkok niscaya telah mengambil jalan kapitalisme.

Ini membuat banyak orang mengambil kesimpulan bahwa sosialisme telah gagal. Akan tetapi, yang gagal di Rusia dan Tiongkok bukanlah sosialisme seperti yang dimengerti oleh Marx atau Lenin, tetapi karikatur birokratik dan totaliter dari sosialisme. Sekarang, 20 tahun setelah jatuhnya USSR, akan sia-sia bila kita mencoba mencari di tulisan-tulisan mantan kaum Stalinis penjelasan mengenai apa yang terjadi di Uni Soviet. Walaupun begitu, penjelasan ini eksis dan ini ditulis puluhan tahun yang lalu oleh seorang revolusionis besar dari Rusia, Leon Trotsky.

Revolusi yang Dikhianati adalah salah satu karya Marxis terpenting. Karya ini adalah satu-satunya analisa Marxis yang serius mengenai apa yang terjadi pada Revolusi Rusia setelah kematian Lenin. Tanpa pemahaman penuh akan karya ini, mustahil bagi kita untuk mengerti mengapa Uni Soviet runtuh dan peristiwa-peristiwa sepuluh tahun belakangan ini di Rusia dan juga dalam skala dunia.
Revolusi Oktober Dibenarkan

Bagi kaum Marxis, Revolusi Oktober 1917 adalah satu peristiwa terbesar di dalam sejarah umat manusia. Bila kita mengecualikan episode Komune Paris yang megah dan singkat, maka untuk pertama kalinya kelas buruh berhasil menumbangkan penindasnya dan setidaknya memulai tugas merubah masyarakat ke arah sosialisme.

Revolusi Oktober telah dibenarkan sepenuhnya oleh sejarah. Seperti yang ditunjukkan oleh Leon Trotsky di Revolusi yang Dikhianati, untuk pertama kalinya sosialisme diuji, bukan dalam bahasa dialektika, tetapi dalam bahasa besi-baja, batu bara, listrik, dan semen. Ekonomi ternasionalisasi yang terencana, yang dibawa oleh Revolusi Oktober, berhasil dalam waktu yang sangat pendek mengubah sebuah ekonomi yang terbelakang seperti Pakistan hari ini menjadi negeri terkuat kedua di muka bumi.

Akan tetapi, Revolusi Oktober terjadi, bukan di sebuah negeri kapitalis maju seperti yang diharapkan oleh Marx, tetapi di sebuah negeri dengan keterbelakangan yang sangat parah. Untuk memberikan satu gambaran mengenai keadaan yang dihadapi oleh Bolshevik, dalam hanya satu tahun, pada tahun 1920, 6 juta rakyat mati kelaparan di Uni Soviet.

Marx dan Engels sejak dulu telah menjelaskan bahwa sosialisme – sebuah masyarakat tanpa kelas – membutuhkan kondisi material untuk bisa eksis. Sosialisme harus memiliki titik awal perkembangan yang lebih tinggi dari pada negeri kapitalis termaju (AS misalnya). Hanya dengan basis industri, pertanian, sains dan teknologi yang sangat maju kita bisa menjamin kondisi untuk perkembangan umat manusia yang bebas, dimulai dengan pengurangan drastis jam kerja yang merupakan syarat utama bagi kelas pekerja untuk bisa mengontrol dan mengelola masyarakat secara demokratik.
Demokrasi Buruh

Sejak dulu Engels menjelaskan bahwa di setiap masyarakat dimana seni, sains, dan pemerintah adalah monopoli dari sebuah kelompok minoritas, maka minoritas tersebut akan menyalahgunakan posisinya untuk kepentingan dirinya sendiri. Lenin segera menyadari bahaya degenerasi birokratik dari Revolusi Oktober yang berada di dalam kondisi keterbelakangan. Dalam Negara dan Revolusi, yang ditulisnya pada tahun 1917, dia merumuskan aturan-aturan fundamental – bukan untuk sosialisme ataupun komunisme – tetapi untuk periode awal setelah Revolusi, sebuah periode transisi antara kapitalisme dan sosialisme. Aturan-aturan ini adalah:

1. Semua pejabat harus dipilih dalam pemilu yang bebas dan demokratik, dan dapat ditarik kembali (direcall) setiap saat.

2. Tidak boleh ada pejabat yang menerima gaji lebih tinggi dari seorang buruh terampil.

3. Tentara reguler digantikan dengan tentara rakyat (milisi).

4. Perlahan-lahan, semua tugas menjalankan negara dilaksanakan oleh buruh secara bergiliran; bila semua orang adalah “birokrat”, maka tidak ada seorangpun yang menjadi birokrat.

Ini adalah program demokrasi buruh. Program ini secara langsung ditujukan untuk melawan bahaya birokrasi. Ini menjadi basis dari Program Partai pada tahun 1919. Dalam kata lain, berkebalikan dari fitnah para musuh sosialisme, Rusia Soviet pada masanya Lenin dan Trotsky adalah rejim yang paling demokratis di dalam sejarah.

Akan tetapi, rejim soviet buruh yang diciptakan oleh Revolusi Oktober tidak bertahan. Pada awal tahun 1930an, semua aturan di atas telah dihapus. Di bawah Stalin, negara buruh menderita sebuah proses degenerasi birokratik yang berakhir dengan ditegakkannya sebuah rejim totaliter yang kejam dan penghancuran Partai Leninis secara fisik. Faktor utama dari konter-revolusi Stalinis di Rusia adalah terisolasinya Revolusi Oktober di dalam sebuah negeri yang terbelakang. Bagaimana konter-revolusi ini terjadi dijelaskan oleh Trotsky di dalam bukunya Revolusi yang Dikhianati.
Runtuhnya Uni Soviet Diramalkan

Pada tahun 1936, fenomena Stalinisme adalah sesuatu yang benar-benar baru dan tidak pernah diperkirakan. Fenomena ini tidak dijelaskan atau bahkan diantisipasi di dalam karya-karya Marx dan Engels. Dalam tulisan-tulisannya yang terakhir, Lenin mengungkapkan kekhawatirannya akan bangkitnya birokrasi di negara Soviet, yang dia peringatkan dapat menghancurkan rejim Oktober. Tetapi Lenin mengira bahwa keterisolasian Uni Soviet niscaya akan mengarah ke restorasi kapitalis. Ini akhirnya terjadi, tetapi setelah satu periode tujuh dekade, dimana kaum buruh Soviet kehilangan kekuasaan politik dan rejim demokratik yang dibentuk oleh Bolshevik pada tahun 1917 berubah menjadi sebuah karikatur sosialisme yang birokratik dan totaliter. Yang tersisa hanya bentuk kepemilikan yang ternasionalisasi dan ekonomi terencana – yang dicanangkan oleh Revolusi Oktober.

Dalam Revolusi yang Dikhianati, Trotsky memberikan sebuah analisa yang brilian dan dalam mengenai Stalinisme dari sudut pandang Marxis. Analisanya tidak pernah direvisi, apalagi diganti. Dengan ketertundaan selama 60 tahun, analisanya telah terbukti benar oleh sejarah. Trotsky memberikan peringatan bahwa kaum birokrasi sedang membahayakan Uni Soviet dan ekonomi terencananya. Sebagai balasannya, dia dicaci-maki oleh “para teman Uni Soviet”.

Hari ini, semua kaum “komunis” dan “para teman Uni Soviet” yang dulu menyanyikan lagu-lagu pujian untuk Stalin dan mengejek Trotsky, menundukkan kepala mereka. Sebagian besar dari mereka telah mencampakkan komunisme dan sosialisme. Beberapa yang masih bertahan tidak punya komentar apapun mengenai apa yang terjadi di Uni Soviet. Tidak satupun dari mereka yang dapat memberikan sebuah analisa Marxis mengenai kejatuhan Uni Soviet. Tetapi penjelasan inilah yang dituntut oleh generasi baru (dan juga oleh seksi terbaik dari generasi lama). Mereka tidak akan mendapatkan penjelasan ini dari pemimpin-pemimpin mereka. Akan tetapi, di lembar halaman buku Revolusi yang Dikhianati mereka akan menemukan bahwa Trotsky tidak hanya meramalkan apa yang terjadi 60 tahun kemudian, tetapi juga menganalisa dan menjelaskannya dari sudut pandang Marxis.
Kaum Birokrasi Merusak Ekonomi Soviet

Sekarang ini, para musuh sosialisme mencoba mengatakan bahwa keruntuhan Uni Soviet adalah akibat dari kegagalan ekonomi ternasionalisasi yang terencana, dan bahwa ekonomi semacam ini tidak terpisahkan dari rejim birokratik. Argumen ini dijawab oleh Trotsky di dalam Revolusi yang Dikhianati. Dia menjelaskan bahwa ekonomi ternasionalisasi yang terencana membutuhkan demokrasi seperti halnya manusia membutuhkan oksigen.

Dalam Revolusi yang Dikhianati, dengan bantuan fakta-fakta, angka-angka dan statistik, Trotsky menunjukkan bagaimana Stalinisme, di atas basis ekonomi ternasionalisasi yang terencana, menciptakan sebuah potensi produksi yang besar, tetapi tidak mampu menggunakannya karena kontradiksi internalnya. Kebutuhan ekonomi ternasionalisasi yang terencana tidak sesuai dengan rejim birokratik. Bahkan dalam periode Rencana Lima Tahun yang pertama, ketika kaum birokrasi masih memainkan peran progresif dalam mengembangkan alat-alat produksi, mereka masih bertangggung jawab atas pemborosan yang besar. Trotsky mengatakan bahwa mereka mengembangkan alat produksi, tetapi dengan ongkos tiga kali lipat dari ongkos kapitalisme. Kontradiksi ini tidak menghilang dengan tumbuhnya ekonomi, tetapi, sebaliknya justru menjadi semakin tak tertanggungkan sampai akhirnya sistim tersebut hancur sepenuhnya.

Kekuatan produksi Rusia secara artifisial terkekang oleh sistim birokratik. Kekuatan produksi Rusia telah berkembang sangat besar berkat ekonomi ternasionalisasi yang terencana, tetapi disabotase oleh birokrasi. Satu-satunya jalan keluar dari problem ini adalah kendali dan administrasi demokratik oleh kelas buruh, seperti yang dimaksudkan oleh Lenin. Ini dapat dilaksanakan di atas basis ekonomi yang sudah maju pada tahun 1980-an. Namun kaum birokrasi tidak punya niat sama sekali untuk mengarah ke sana. Gerakan restorasi ke kapitalisme tidaklah timbul dari kebutuhan ekonomi, tetapi dari ketakutan akan kelas buruh, dan sebagai cara untuk menjaga kekuasaan dan hak-hak istimewa kasta penguasa.
Peran “Partai Komunis”

Yang mengejutkan setiap orang adalah bagaimana Trotsky secara brilian mengantisipasi apa yang terjadi di Rusia sekarang. Akan tetapi, dalam beberapa hal, peristiwa-peristiwa bergulir dengan cara yang berbeda dari yang dia prediksikan. Pada tahun 1930-an, Trotsky yakin bahwa sebuah konter-revolusi kapitalis hanya dapat terjadi sebagai hasil dari perang sipil. Dia menulis:

“Revolusi Oktober telah dikhianati oleh lapisan penguasa, tetapi belum tergulingkan. Revolusi memiliki daya tahan yang luar biasa, yang berseiring dengan hubungan kepemilikan yang telah didirikannya, dengan kekuatan proletariat yang hidup, kesadaran dari unsur-unsur termajunya, kebuntuan kapitalisme dunia, dan keniscayaan revolusi dunia.”

Dan lalu:

“Jika kita mengadopsi hipotesa kedua, yakni jika satu partai borjuis menggulingkan kasta penguasa Soviet, mereka akan menemukan tidak sedikit pembantu yang siap sedia di antara para birokrat, administratur, teknisi, direktur, sekretaris-sekretaris partai dan anggota lingkaran penguasa secara umum. Pembersihan terhadap aparatus negara juga akan diperlukan dalam hal ini. Tetapi restorasi borjuis mungkin hanya akan menyingkirkan sedikit orang dibandingkan yang perlu dilakukan oleh sebuah partai revolusioner. Tugas utama dari kekuasaan baru ini adalah untuk memulihkan kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi. Pertama-tama perlulah menciptakan kondisi untuk perkembangan para petani kuat dari pertanian kolektif yang lemah, dan mengubah kolektif-kolektif yang kuat menjadi koperasi produksi bergaya borjuis, dan lalu ke perseroan pertanian. Dalam bidang industri, de-nasionalisasi akan dimulai dengan industri ringan dan yang memproduksi pangan. Prinsip terencana akan diubah pada masa peralihan menjadi serangkaian kompromi antara kekuasaan negara dan “korporasi” swasta—para calon kapitalis, yakni, di antara para pemimpin industri Soviet, para mantan kapitalis yang ada di pengasingan, dan para kapitalis asing. Walaupun birokrasi Soviet telah melangkah jauh dalam menyiapkan satu restorasi borjuasi, rejim baru ini harus memberlakukan sebuah revolusi sosial, bukan sekedar reformasi, dalam hal bentuk-bentuk kepemilikan dan metode industri.”

Ini bukanlah pertama kalinya dalam sejarah dimana sebuah perubahan sosial yang besar terjadi tanpa perang sipil. Sudah pernah terjadi beberapa kali dimana sebuah rejim sudah kehabisan enerji sama sekali sehingga rejim tersebut runtuh tanpa perlawanan, seperti sebuah apel yang busuk. Satu contoh adalah apa yang terjadi di Hongaria pada tahun 1919 dimana pemerintah borjuis Count Karolyi tumbang dan menyerahkan kekuasaan kepada Partai Komunis. Hal yang serupa terjadi juga di Eropa Timur pada tahun 1989.

Rejim-rejim Stalinis sudah sangat terdemoralisasi sehingga mereka tumbang tanpa perlawanan sama sekali. Di Polandia, Jaruzelski begitu saja menyerahkan kekuasaan kepada oposisi. Ini tidak terjadi tanpa intervensi massa, yang tidak menginginkan restorasi kapitalisme. Tetapi karena absennya sebuah partai dan kepemimpinan revolusioner, elemen-elemen pro-kapitalis dapat mengisi kekosongan tersebut dan membajak gerakan ini ke arah kapitalisme. Di Polandia dan Hongaria, ini dilakukan dengan bantuan para pemimpin partai komunis.

Faktor yang menentukan adalah kelakuan dari “Partai-Partai Komunis”. Dalam kenyataannya, Partai Komunis Uni Soviet bukanlah Partai Komunis sama sekali, tetapi adalah sebuah kelompok birokrasi dengan jumlah anggota jutaan. PKUS adalah kepanjangan dari negara, yang terdiri dari para pengejar karir dan cecunguk, yang bertujuan mengendalikan kelas buruh dan menundukkannya di bawah kasta penguasa. Kepemilikan kartu anggota Partai bukanlah, seperti pada hari-hari Lenin, sebuah sumpah untuk menjalankan hidup penuh pengorbanan dan perjuangan demi kelas buruh, tetapi adalah sebuah paspor untuk memajukan karir. Untuk setiap satu buruh yang jujur yang bergabung ke dalam Partai, ada seratus pengejar karir, cecunguk, mata-mata, dan pengkhianat. Peran seorang anggota Partai bukanlah untuk membela kelas buruh, tetapi untuk membela kepentingan birokrasi.

Pada momen kebenaran, para pemimpin ini menyebrang ke kapitalisme semudah seseorang pindah dari kursi kelas dua ke kursi kelas satu di sebuah kereta. Dalam satu malam, “Partai Komunis” runtuh seperti kartu remi. Ketika sudah menjadi jelas bahwa hari-hari Uni Soviet telah berakhir, yang pertama loncat keluar dari kapal yang tenggelam dan memeluk kapitalisme adalah para pemimpin “Partai Komunis”, yang dengan segera mengubah diri mereka menjadi pemilik modal dan milyader. Dibandingkan ini, pengkhianatan para pemimpin Sosial Demokrasi pada tahun 1914 adalah mainan anak-anak.

Pengkhianatan yang luar biasa ini tidak dapat dipahami bila kita menerima gagasan bahwa yang eksis di Uni Soviet dan Eropa Timur adalah “sosialisme yang sejati”, seperti yang dipertahankan oleh para pemimpin Partai Komunis selama berpuluh-puluh tahun. Keruntuhan Uni Soviet pada kenyataannya adalah hasil dari degenerasi birokratik. Pada saat ketika birokrasi Moskow menyombongkan diri sedang “membangun sosialisme”, Uni Soviet pada kenyataannya sedang bergerak menjauhi sosialisme. Dan, seperti yang diprediksi oleh Trotsky pada tahun 1936, para pejabat penguasa tidak akan puas hanya dengan hak-hak istimewa dan gaji tinggi, mereka menginginkan keamanan atas posisi mereka dan anak-anak mereka. Ini tidak terelakkan, kecuali bila kelas buruh menumbangkan birokrasi dan kembali ke kebijakan demokrasi buruh dan internasionalisme.

PKUS runtuh dalam satu malam. Dari 20 juta anggota partai, hanya 500 ribu yang tersisa dan membentuk Partai Komunis Federasi Rusia. Tetapi partai ini tidak punya kesamaan sama sekali dengan komunisme kecuali dalam nama. Setelah dipisahkan dari negara, para pemimpin PKFR adalah kekuatan semi-oposisi terhadap Yeltsin dan sayap borjuis. Tetapi dalam praktek, mereka menerima kapitalisme dan pasar bebas, dan oposisi mereka hanyalah bersifat ritual dan simbolik. Maka dari itu, kemarahan, kepedihan, dan kekecawaan rakyat yang besar tidak mendapatkan ekspresi yang teroganisir. Karena tidak ada kendaraan untuk mengekspresikan dirinya, kekecewaan massa menguap begitu saja seperti uap tanpa mesin piston.

Adalah sebuah komentar yang tajam akan kebangkrutan kasta penguasa Stalinis bahwa, 80 tahun setelah Revolusi Oktober, mereka lebih memilih mendorong Uni Soviet kembali ke barbarisme kapitalis daripada menyerahkan kekuasaan kepada kelas buruh. Ini adalah satu perkembangan yang Leon Trotsky kira mustahil terjadi. Dan memang, untuk satu periode yang panjang perkembangan ini mustahil terjadi. Selama kekuatan produksi Uni Soviet terus berkembang, tendensi pro-kapitalis tidaklah signifikan. Tetapi kebuntuan Stalinisme mengubah seluruh situasi.
Serangan Kapitalisme

Keruntuhan Uni Soviet dan “Partai Komunis”, setelah puluhan tahun di bawah kekuasaan Stalinis, menyebabkan kebingungan yang besar. Setelah dicekoki kebohongan selama puluhan tahun, dusta yang diciptakan oleh sebuah mesin propaganda raksasa yang mengajarkan rakyat bahwa sosialisme dan komunisme telah menemukan ekspresi tertingginya di dalam sebuah rejim totaliter, yang didominasi oleh kasta birokrasi yang korup dan bangkrut, kesadaran rakyat telah terlempar jauh ke belakang. Ketika rejim ini akhirnya tumbang – seperti yang diprediksikan oleh Trotsky secara brilian di dalam Revolusi yang Dikhianati – rakyat tidak siap dan terkejut.

Trotsky mengatakan bahwa dimana revolusi adalah lokomotif sejarah, maka rejim reaksioner – terutama rejim totaliter seperti Stalinisme – berperan sebagai rem yang besar terhadap kesadaran manusia. Sampai pada tingkat yang bahkan tidak kita sangka, Stalin telah berhasil sepenuhnya menghancurkan tradisi Oktober. Pembantaian para Pengawal Leninis Tua dan Oposisi Kiri menyebabkan kaum proletar kehilangan kepemimpinannya. Puluhan tahun fitnah dan pelarangan karya Trotsky di Uni Soviet telah menghancurkan tradisi demokrasi dan internasionalis yang terakhir dari Bolshevisme. Satu per satu, para buruh yang telah selamat dari mimpi buruk Stalinisme meninggal, dan menyebabkan sebuah kekosongan yang besar. Pada momen yang menentukan, kaum proletar tidak memiliki kepemimpinan untuk menghadapi serangan kapitalis.

Kita harus menggarisbawahi bahwa apa yang gagal di Rusia bukanlah sosialisme. Rejim yang dibentuk oleh konter-revolusi Stalinis setelah kematian Lenin bukanlah sosialisme, dan bahkan bukan negara buruh seperti yang dimengerti oleh Marx dan Lenin. Rejim tersebut adalah sebuah karikatur yang sangat buruk dari sebuah negara buruh – atau sebuah rejim Bonapartisme proletar, meminjam terminologi ilmiah dari Trotsky. Setelah berkuasa secara totaliter selama bergenerasi, para elit penguasa menjadi benar-benar bangkrut. Dengan sangat mudah, sebagian besar mantan pemimpin “Komunis” menyebrang ke kapitalisme.
Kemunduran Besar

Trotsky menulis di Revolusi yang Dikhianati: “Keruntuhan rejim Soviet niscaya akan membawa keruntuhan perekonomian terencana, dan, dengan begitu, penghapusan kepemilikan negara. Ikatan pemaksa antara dewan pabrik dan pabrik-pabrik di dalamnya akan rontok. Perusahaan-perusahaan yang lebih berhasil akan berhasil keluar ke jalan kemandirian. Mereka akan berubah atau mungkin juga mengubah dirinya menjadi perseroan, atau mereka mungkin mengambil bentuk kepemilikan sementara lainnya—misalnya, di mana kaum pekerja dapat ikut serta menikmati laba perusahaan. Pertanian kolektif akan pecah dalam waktu yang sama, dan dengan lebih mudah. Keruntuhan kediktatoran birokratik yang sekarang, jika tidak digantikan oleh kekuatan sosialis yang lain, niscaya akan berarti kembalinya hubungan kapitalistik yang disertai oleh kemunduran industri dan kebudayaan yang penuh bencana.”

Kalimat-kalimat yang brilian ini memprediksikan nasib Uni Soviet secara detil. Dalam periode yang disebut reformasi pasar, Rusia mengalami kemunduran ekonomi yang terbesar di dalam sejarah ekonomi dunia. Hanya dalam waktu lima tahun, ekonomi Rusia mengalami kontraksi sebesar 60%. Kemunduran seperti itu tidak pernah terjadi di dalam sejarah ekonomi. Runtuhnya Uni Soviet mengakibatkan disintegrasi sosial. Elemen-elemen barbarisme muncul kembali. Kemiskinan, pengemis, kemabukan, narkoba, ketergantungan pada obat terlarang, prostitusi, kejahatan, epidemik telah merajalela. Sebagian kaum muda terpengaruh oleh lumpenisasi.

Rusia sekarang ini mengkombinasikan semua hal terburuk dari sistem yang lama dengan semua hal terburuk dari kapitalisme. Benar bahwa negara totaliter yang lama telah terlikuidasi karena kontradiksinya sendiri, tetapi birokrasi negara yang lama masih bercokol. Kenyataannya, birokrasi sebenarnya justru menjadi semakin besar. Ada 1,7 kali lipat lebih banyak pegawai pemerintah sekarang daripada di Uni Soviet dulu, yang memiliki 100 juta penduduk lebih. Korupsi menjadi jauh lebih parah daripada birokrasi Stalinis yang lama. Kepolisian, yang seharusnya melawan kejahatan dan korupsi, justru dilanda korupsi.

Benar bahwa di Uni Soviet dulu ada opresi nasional, tetapi perpecahan Uni Soviet telah menghasilkan sebuah mimpi buruk peperangan, terorisme, dan pemburukan ketegangan nasional, kebencian dan rasisme. Serangan terhadap Chechnya menyebabkan destabilisasi seluruh daerah Caucasus Utara, menyeret Ingushetia dan Dagesta yang sebelumnya adalah daerah yang damai. Telah terjadi peperangan antara Armenia dan Azerbaijan, konflik bersenjata antara Rusia dan Georgia mengenai Ossetia dan Abkhazia. Ada konflik yang tak terdamaikan antara Moldova dan Republik Trans-Dniester, dan seterusnya.

Kekacauan secara umum, kemunduran dalam aspek kebudayaan, kemunduran dalam kesadaran rakyat sebagai akibat dari puluhan tahun Stalinisme, dan yang terutama absennya faktor subjektif – semua ini bergabung menghasilkan kemunduran yang paling buruk dan menjijikkan: sovinisme Rusia, mistisisme, Gereja Ortodoks, fasisme Black-Hundred, anti-semitisme, dan bahkan monarkisme. Baru-baru ini, Presiden Rusia Dmitry Medvedev dan kawannya dari Prancis Nicolas Sarkozy membuka acara “Rusia Suci”, sebuah pameran Santo-Santo Kristen, barang-barang antik suci, kitab-kitab pemujaan, jubah-jubah pastor, dan barang-barang suci lainnya di St. Petersburg, dan Louvre di Paris. Guna menunjukkan pengabdiannya pada Tuhan yang Damai, pemimpin Rusia ini juga mengambil kesempatan untuk membeli empat kapal perang amphibi dari Prancis. Semua ini menunjukkan betapa jauhnya Rusia telah terlempar ke belakang oleh kapitalisme. Kapitalisme mafioso Rusia tidak mampu memainkan peran progresif apapun.
Prospek Ekonomi Rusia

Trotsky menjelaskan pencapaian-pencapaian yang diciptakan oleh ekonomi ternasionalisasi yang terencana selama puluhan tahun, dan ini tercapai bukan karena kaum birokrasi. Pada tahun 1980-an, terdapat sebuah potensi kekuatan produksi yang besar, yang tidak mampu dikembangkan oleh kaum birokrasi. Ini adalah titik tolak kita. Pertanyaan yang muncul adalah: apakah kaum borjuasi mampu merealisasikan potensi tersebut?

Kemerosotan ekonomi yang tajam tidak dapat berlangsung terus menerus. Tidak ada ekonomi yang dapat merosot terus secara permanen. Setelah krisis ekonomi 1998, ekonomi Rusia mengalami semacam pemulihan. Tetapi, pertama, setiap perkembangan harus dibandingkan dengan keruntuhan ekonomi selama sepuluh tahun setelah kejatuhan Uni Soviet. Kedua, ekonomi Rusia, yang sangat tergantung pada minyak dan gas, terpengaruh oleh pasang-surutnya pasar dunia kapitalis. Sepuluh tahun yang lalu, saya menulis:

“Para pembela kapitalisme merujuk pada pemulihan ekonomi Rusia baru-baru ini, tetapi ini bukanlah karena sebuah perkembangan organik, tetapi adalah konsekuensi dari perkembangan episodik: devaluasi tajam terhadap mata uang rubel menyusul krisis 1998, dan kenaikan tajam harga minyak bumi baru-baru ini. Namun, pengaruh dari devaluasi telah menguap, sedangkan kenaikan harga minyak tampaknya sudah berhenti. Bila, yang tampaknya sangat memungkinkan, pelambatan ekonomi di AS terbukti menandakan awal dari sebuah resesi ekonomi, maka harga minyak akan mengalami keanjlokan yang tajam, dan ini akan menghentikan dengan segera periode pemulihan parsial di Rusia.”

Ini yang baru saja terjadi. Pada tahun 2009, ekonomi Rusia anjlok 10%, walaupun sekarang ekonomi Rusia telah pulih secara parsial, merefleksikan pemulihan lemah dari ekonomi dunia kapitalis. Akan tetapi pemulihan ini memiliki karakter yang sangat tidak stabil dan mungkin adalah awal dari sebuah resesi yang baru dan bahkan lebih dalam. Tingkat pengangguran di Rusia adalah 9,2% pada bulan Januari 2010. Pada kenyataannya angka pengangguran ini lebih tinggi karena banyak rakyat Rusia yang tidak mengklaim tunjangan dari negara, yang pada umumnya sangatlah kecil nilainya.

Pada analisa terakhir, Marxisme menjelaskan proses sejarah dari sudut pandang perkembangan kekuatan-kekuatan produksi. Satu-satunya cara sebuah rejim kapitalis dapat mencapai konsolidasi adalah melalui perkembangan ekonomi. Marx menjelaskan bahwa inilah satu-satunya jalan dimana sebuah sistem sosio-ekonomi tertentu dapat mempertahankan dirinya. Dalam kata-kata Engels, “Kami melihat kondisi ekonomi sebagai faktor yang pada akhirnya mengkondisikan perkembangan ekonomi.” (Marx dan Engels, Selected Works, Vol. 3, hal. 502.)

Mari kita ingat bahwa di Uni Soviet tidak ada pengangguran. Sekarang jutaan rakyat tidak punya pekerjaan atau bekerja dalam sektor “informal”. Situasi di Moskow dan Petersburg tidaklah terlalu buruk, tetapi di provinsi-provinsi lain situasinya jauh lebih buruk. Yevgeniy Gontmakher, seorang anggota dewan direktur di Institut Perkembangan Kontemporer (INSOR), mengatakan kepada para pemilik modal Eropa (4 Maret) bahwa Rusia mendapati dirinya seperti di Uni Soviet pada tahun-tahun terakhir ketika harga minyak tinggi dan sekarang sedang di ambang keruntuhan:

“Harga minyak sekarang memberikan angin segar kembali,” dia melanjutkan. “Setahun yang lalu harga minyak adalah sekitar 30 dolar per barel, dan ada kepanikan – apa yang harus kita lakukan, bagaimana menghadapi ini?! Dan sekarang harga minyak tinggi kembali, dan tidak perlu lagi memikirkan masalah perkembangan. Jadi, kita sekarang mendapati diri kita di dalam situasi stagnasi.”

Dimana Uni Soviet, dengan ekonomi ternasionalisasi yang terencana, menikmati tingkat perkembangan ekonomi yang tinggi selama puluhan tahun, dengan pekerjaan untuk semua orang, tidak ada inflasi dan anggaran surplus secara reguler, ekonomi kapitalis di Rusia sekarang sangatlah tergantung pada ekspor bahan mentah dan terutama enerji. Presiden Dmitry Medvedev, mantan ketua Gazprom, mengatakan bahwa ketergantungan Rusia pada harga enerji adalah “memalukan”. Pemerintah Rusia sekarang mencoba untuk menutup defisit anggaran yang mencapai 7.2% GDP tahun ini, setelah anjloknya harga minyak dan kontraksi ekonomi yang terburuk dalam rekor menyebabkan defisit 5.9%, atau 2.3 trilyun ruble (77 milyar dolar AS) pada tahun 2009. Pembebasan pajak ekspor minyak di Siberia Timur sendiri akan memakan biaya dari anggaran sebesar 4 milyar dolar AS.
Apa Masa Depan untuk Rusia?

Setelah tumbangnya Uni Soviet, kaum borjuasi mengalami sebuah fase eforia yang gila. Mereka merasa bahwa mereka sudah tidak lagi terancam oleh “Komunisme”. Sistem kapitalis (“ekonomi pasar bebas”) berkuasa secara digdaya. Kelas penguasa merasa percaya diri. Mereka memimpikan sebuah boom ekonomi yang akan berlangsung selamanya. Semua ilusi ini mendorong kemajuan ekonomi AS pada paruh kedua tahun 1990an. Tetapi resesi 2008 mengekspos kekosongan dari kecongkakan mereka. Goncangan-goncangan yang baru sedang dipersiapkan.

Elemen kunci dari masalah ini adalah kelas buruh Rusia. Setelah sebuah kekalahan yang parah, gerakan secara tak terelakkan terlempar ke belakang. Puluhan tahun Stalinisme menghasilkan kebingungan yang besar bagi kaum buruh Rusia. Bencana ekonomi yang menyusul keruntuhan Uni Soviet dan transisi cepat ke “ekonomi pasar” mengakibatkan pengangguran massal dan kemiskinan yang parah. Ini untuk sementara waktu mengejutkan dan membingungkan rakyat pekerja. Tetapi faktor utama dari semua ini adalah peran dari “Partai Komunis” dan para pemimpinnya, yang secara bersemangat segera merangkul “pasar”.

Tradisi lama Leninis Bolshevisme telah terkubur di bawah segunung sampah dan dusta. Bukanlah sebuah kebetulan kalau Putin berusaha memulihkan imej Stalin dimana pada waktu yang sama dia menguatkan cengkraman kaum oligarki reaksioner Rusia. Ini adalah semacam jaminan untuk mencegah kaum buruh Rusia menemukan jalan kembali ke Leninisme, dan mengalihkan kemarahan mereka ke jalan buntu nasionalisme guna memperbudak mereka di bahwa kekuasaan kaum oligarki Rusia.

Tetapi usaha ini pada akhirnya tidak akan berhasil. Setelah melewati satu periode dimana mereka bungkam, kaum buruh Rusia mulai bergerak. Pemulihan ekonomi telah memberikan mereka semangat yang baru untuk mengantarkan tuntutan mereka. Pemogokan di pabrik Ford dekat St. Petersburg adalah sebuah tanda awal bahwa kesabaran buruh Rusia sudah hampir habis. Awalnya perlawanan kaum buruh niscaya secara umum akan memiliki sebuah karakter ekonomi, tetapi di kemudian hari perlawanan mereka harus mengambil karakter politik karena hubungan antara pemilik modal dan pemerintah sangatlah jelas bagi semua orang.

Meninjau semua ini, keruntuhan Stalinisme dapat dilihat sebagai sebuah prolog dari satu kejadian yang lebih besar: runtuhnya kapitalisme. Fakta berbicara sendiri. Tidak ada satupun masalah fundamental yang dihadapi kemanusiaan yang dapat diselesaikan di atas basis kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi dan negara-bangsa. Kelanjutan dari kekuasaan Kapital menandakan keniscayaan dari krisis-krisis dan gejolak-gejolak baru yang akan menghancurkan lapangan kerja, kesejahteraan dan kehidupan jutaan rakyat. Masa depan planet kita, lingkungan hidup, demokrasi, kebudayaan – bahkan keberlangsungan spesies kita – akan berada di ambang jurang.

Hanya restorasi ekonomi ternasionalisasi yang terencana yang dapat menciptakan kondisi untuk kebangkitan kembali potensi produksi Rusia yang besar. Tetapi ini bukan berarti kembali ke rejim Stalinis. Hanya sebuah rejim demokrasi buruh yang sejati, berdasarkan garis Revolusi Oktober, dapat menyediakan Rusia dengan sebuah jalan keluar dari kebuntuan yang dihadapinya sekarang. Seperti yang ditunjukkan oleh Trotsky dengan satu kalimat yang paling grafik dan dalam dari buku Revolusi yang Dikhianati, bahwa sebuah ekonomi ternasionalisasi yang terencana membutuhkan demokrasi seperti halnya tubuh manusia membutuhkan oksigen.

Napoleon biasa berkata: “pasukan yang kalah belajar dengan baik.” Gerakan buruh telah mengalami banyak kekalahan di dalam sejarah: dari Spartacus hingga Komune Paris, dari Indonesia 1965 hingga jatuhnya Uni Soviet. Dalam setiap kasus, kita memiliki tanggung jawab untuk menganalisa, menjelaskan, dan menarik kesimpulan-kesimpulan yang diperlukan. Degenerasi birokratik dari Uni Soviet dan keruntuhannya harus dipelajari dengan seksama oleh kaum Marxis Indonesia bila mereka ingin bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dari kaum buruh dan kaum muda. Dan penjelasan terbaik dapat ditemukan di lembar halaman dari karya Marxis yang klasik dan brilian ini.

London, 10 Maret 2010
Written by Alan Woods
Monday, 12 April 2010

Sumber: www.marxist.com

Baca lanjutannya »»

Revolusi dan Konter Revolusi di Thailand

Gejolak sosial dan politik di Thailand mencapai klimaksnya dengan pembentukan barikade di Bangkok pada awal Maret 2010, dimana puluhan ribu demonstran kaos-merah menduduki area pusat Bangkok. Dua bulan perjuangan yang sengit berakhir dengan serangan militer pada tanggal 19 Mei yang akhirnya berhasil menghancurkan basis kamp Kaos Merah. 85 orang mati dan ribuan lainnya terluka. Ofensif konter revolusioner meraih kemenangan, tetapi Thailand tidak akan pernah sama lagi. Sebuah perang kelas telah dimulai. Di Rajprasong, mereka bernyanyi: “Ini adalah perang kelas yang akan menyapu otokrasi”. Berikut ini adalah analisa yang ditulis pada hari penyerangan militer terhadap kamp kaos merah (19/5).

Di Rajprasong, mereka bernyanyi: “Ini adalah perang kelas yang akan menyapu otokrasi”

Selama berbulan-bulan jalanan di Bangkok pusat telah diambil alih oleh sebuah gerakan demonstrasi massa yang diorganisasi oleh UDD (United Front for Democracy Against Dictatorship, Front Persatuan Untuk Demokrasi Melawan Kediktaturan), yang lebih dikenal sebagai Kaos Merah. Gerakan massa kaum miskin dan terlantar ini telah menggoncang struktur kekuasaan dari elit penguasa dan mengancam masa depan kerajaan Thai. Banyak dari mereka adalah pendukung mantan perdana menteri Thaksin Shinawatra, yang tersingkirkan dalam sebuah kudeta hampir empat tahun yang lalu.

Perdana menteri yang sekarang, Abhisit Vejjajiva, mengeluh mengenai “kekacauan” dan “anarki”, tetapi dia enak saja lupa bahwa dia naik ke tampuk kekuasaan dengan cara yang sama. Pemerintahannya dibentuk oleh militer, dan adalah produk dari sebuah kudeta militer pada tahun 2006 dan berbagai kudeta yuridis. Antara tahun 2006 dan 2008, preman-preman berkaos kuning dari Partai Demokrat memboikot pemilu dimana Thaksin diprediksikan akan menang. Ini mengakibatkan dibatalkannya hasil pemilu. Lalu ketika sebuah periode transisi militer gagal untuk menyingkirkan pendukung Thaksin dari kekuasaan, massa monarkis reaksioner memblokade gedung-gedung pemerintah dan bandara Bangkok guna memberikan preteks untuk sebuah kudeta.

Perebutan kekuasaan oleh Abhisit adalah negasi dari demokrasi, tetapi ini dengan mudah diabaikan oleh negara-negara Barat. Tuntutan untuk pemilu yang baru adalah sebuah tuntutan demokratis yang fundamental. Tetapi ini tidak dapat diterima oleh kaum oligarki Thailand. Sikap dari para demokrat di Washington dan London terhadap kediktaturan ditentukan oleh kepentingan kelas mereka.



Pemerintah Abhisit mewakili kaum penguasa oligarki, monarki Thai yang reaksioner, dan militer. Ini sangat cocok dengan negara-negara Barat, karena ini tampak memberikan jaminan yang kuat untuk investasi mereka di Bangkok – salah satu ekonomi terpenting di Asia. Orang-orang munafik yang sama ini juga mendukung apa yang disebut Revolusi Oranye di Ukraina, dan terus-menerus mengutuk “rejim otokrasi” Hugo Chavez. Tetapi mereka menanggapi gerakan demontrasi demokratis di Thailand dengan kebungkaman.
Kaos Merah

Kaum Kaos Merah, sebuah koalisi anti-pemerintah yang longgar, melihat Thaksin sebagai titik referensi. Thaksin, seorang milyader, yang sekarang ada di pengasingan yang nyaman di Montenegro, bukanlah seorang pemimpin revolusi. Para kritikus merujuk pada pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia di bawah pemerintahannya. Tetapi dia juga menjalankan sejumlah kebijakan untuk kepentingan kaum miskin, terutama kaum miskin di pedesaan bagian utara Thailand.

Karena tidak memiliki sebuah kepemimpinan yang jelas, sebuah partai atau program, maka massa melihat ke pemimpin-pemimpin individual yang tampak mewakilkan aspirasi mereka. Para petani miskin sangat membenci elit penguasa urban yang mendominasi, mengeksploitasi, dan menindas mereka. Nama Thaksin menjadi sebuah titik yang menyatukan oposisi terhadap rejim yang sekarang ini, terutama kaum tani miskin yang mendapatkan sejumlah keuntungan dari pemerintah Thaksin dulu. Namun, dalam kenyataannya, dia adalah seorang figur yang kebetulan saja, seperti halnya Pastor Gapon di Revolusi Rusia 1905 atau Kerensky di Revolusi Rusia 1917.

Beberapa kaum intelektual kelas menengah dari Barat mengakui bahwa mereka tidak dapat mengerti mengapa ribuan orang miskin memilih untuk berjuang dan mati di jalan-jalan Bangkok demi seorang milyader. Beberapa orang bahkan mengkarakterisasi gerakan ini sebagai “fasis”. Ini menunjukkan sebuah ketidakpahaman. Sebaliknya, laporan-laporan dari Giles Ji Ungpakorn, seorang intelektual kiri dan pembangkang, yang dalam pengasingan di Thailand, telah menyediakan sebuah gambaran yang sangat akurat dan benar mengenai gerakan ini.

Rakyat yang berjuang dan mati di jalan-jalan Bangkok tidak melakukan ini untuk mendukung satu politisi borjuis melawan yang lainnya. Mereka berjuang untuk sebuah perubahan fundamental di dalam masyarakat. Mungkin mereka tidak tahu dengan jelas apa yang mereka inginkan. Tetapi mereka tahu dengan jelas apa yang tidak mereka inginkan. Mereka tidak menginginkan kemiskinan, kelaparan, dan pengangguran. Mereka tidak menginginkan kekuasaan oligarki yang korup dan reaksioner. Dan mereka tidak menginginkan pemerintahan Abhisit.

Tuntutan untuk pemilu yang baru adalah sebuah titik awal yang wajar bagi protes mereka. Tetapi segera setelah rakyat bergerak, gerakan ini memperoleh sebuah dinamika yang baru. Partisipasi buruh, kaum muda revolusioner, dan kaum miskin kota telah mengubah gerakan ini, yang tidak dapat dikatakan sebagai sebuah gerakan kaum tani yang bodoh, seperti yang ingin digambarkan oleh kaum reaksioner.

Dalam minggu-minggu belakangan ini, pengaruh Thaksin Shinawatra tampak telah terdorong ke latar belakang. Kaum buruh dan tani miskin yang tertindas mulai menemukan sebuah suara dan mengekspresikan kemarahan mereka yang terpendam, bukan hanya terhadap pemerintahan sekarang tetapi terhadap seluruh sistem yang secara fundamentail tidak adil. Inilah mengapa massa rakyat telah menunjukkan begitu besar kebulatan tekad yang revolusioner dan keteguhan untuk berjuang dan berkorban.

Namun, kebulatan tekad yang sama tidak ditunjukkan oleh para pemimpin mereka. Para pemimpin ini bukanlah kaum buruh dan tani miskin yang tidak punya apa-apa selain nyawa mereka, tetapi mereka adalah kaum intelektual kelas menengah yang menghendaki demokrasi yang lebih luas dan ingin mengurangi pengaruh militer di dalam politik. Mereka bersandar pada gerakan massa untuk menekan pemerintah supaya memberikan konsesi. Mereka terus-menerus menyerukan negosiasi. Tetapi mereka telah mengerakkan sebuah kekuatan yang sulit mereka kendalikan. Gerakan massa sekarang telah mendapatkan jiwanya sendiri.

Para demonstran segera mendapati perasaan akan kekuatan mereka sendiri. Walaupun tidak memiliki program yang jelas (atau mungkin karena itu), gerakan ini menarik ke panjinya seluruh sektor masyarakat yang tertindas dan tereksploitasi di Thailand. Keteguhan dan militansi para demonstran bertambah besar, dan dengannya, sebuah harapan untuk sebuah perubahan radikal di dalam masyarakat yang jauh melebihi penggantian perdana menteri. Ini sekarang adalah sebuah perjuangan antara kaum kaya dan miskin – sebuah perjuangan kelas.
Perjuangan untuk Demokrasi

Kaum oligarki takut akan kekuatan yang telah tergerak oleh gerakan pro-demokrasi, yang telah menarik ke sisinya kaum buruh, kaum muda, tani, dan sektor-sektor tertindas di kota dan desa: dalam kata lain, semua kekuatan hidup di dalam masyarakat Thailand. Melawan mereka adalah seluruh kekuatan reaksioner yang korup, bangkrut, dan kuno.

Ini adalah sebuah perjuangan antara kaum kaya dan miskin, antara yang berpunya dan yang-tak-berpunya. Kaum kaos-merah digambarkan sebuah gerakan “pro-demokrasi”, dan ini ada benarnya. Ada sebuah keinginan yang membakar untuk demokrasi, yang terekspresikan di dalam sebuah kebencian yang dalam terhadap pemerintahan Abhisit. Mulai dengan tuntutan-tuntutan demokrasi, mereka akan mulai menghubungkan ketidakadilan politik dengan ketidakadilan sosial. Bagi buruh dan tani, kedua hal tersebut tak terpisahkan.

Gerakan ini memang dimulai sebagai pertikaian antara dua kelompok politisi, tetapi sekarang gerakan ini telah dipenuhi dengan elemen kelas yang revolusioner. Segera setelah mereka berdiri, massa rakyat secara tak terelakkan mulai mengekspresikan tuntutan mereka sendiri. Tugas mendesak dari revolusi ini (karena ini adalah sebuah revolusi) adalah demokratis dalam karakter. Tetapi perjuangan untuk demokrasi, bila ingin berhasil, harus menuju ke penyapuan seluruh struktur politik Thailand.

Di mata rakyat, perjuangan untuk demokrasi diidentifikasikan dengan perjuangan yang lebih luas untuk keadilan sosial dan persamaan hak. Ini dipahami oleh kaum reaksioner dan elemen-elemen yang paling teguh di dalam gerakan protes ini. Seperti biasa, di tengah mereka adalah mereka yang berpikir bahwa semua ini dapat diselesaikan dengan damai, melalui negosiasi dan perjanjian. Tetapi ini mustahil.

Tidak ada ruang untuk kompromi di dalam situasi ini. Dan kaum “tengah”, seperti yang sering kita lihat di dalam sejarah, akan tersapu ke pinggiran oleh perjuangan kelas yang bangkit. Gerakan ini hanya dapat berhasil bila ia dipimpin oleh elemen-elemen yang paling teguh: mereka yang siap untuk berjuang sampai garis akhir.
Kebangkitan Massa

Para demonstran kaos-merah berkumpul di Bangkok pada tanggal 14 Maret, dan selama dua bulan mereka melumpuhkan ibu kota ini, memprotes penolakan dari pemerintah Abhisit untuk mundur dan mengadakan pemilu yang baru. Pemerintah yang tidak terpilih ini terus berkuasa. Tetapi pemerintahan ini telah kehilangan kendali jalan-jalan di Bangkok. Majalah The Economist (16 Mei) menggambarkan situasi di Bangkok:

“Ribuan demonstran, banyak dari mereka datang dari pedesaan, tidur di bawah rendang hotel-hotel mewah dan mal-mal. [...] Selama satu bulan terakhir ini mereka telah menduduki sebuah area luas di Bangkok pusat untuk memaksa perdana menteri, Abhisit Vejjajiva, membubarkan parlemen dan menyelenggarakan pemilu yang baru. Pemerintah, bisnis dan banyak penduduk Bangkok ingin agar kaum kaos-merah ini keluar. Ancaman dan hukum darurat tidak berhasil. Negosiasi tampak menghasilkan sesuatu, tetapi segera gagal.”

Kelas penguasa semakin kawatir akan kebangkitan massa di jalan-jalan ibu kota. Pemerintah tampak tak berdaya, terserang oleh sebuah kelumpuhan semangat yang aneh. Situasi menjadi semakin serius setiap hari, dan hampir setiap jam. Ada elemen-elemen kekuasaan ganda. Dengan perlawanan mereka, massa rakyat menyampaikan sebuah tantangan langsung kepada pemerintah: “siapa yang berkuasa, kalian atau kami?”

Awalnya pemerintah berusaha menjinakkan situasi ini dengan menawarkan konsensi. Abhisit menawarkan pemilu awal bulan Nopember sebagai bagian dari perjanjian untuk mengakhiri konfrontasi ini. Tampaknya beberapa pemimpin protes siap untuk pulang ke rumah. Tetapi bagi mayoritas demonstran ini tidak cukup dan terlalu terlambat. Mereka menuntut sebuah tanggal yang pasti untuk pembubaran parlemen dan mengatakan bahwa mereka akan melanjutkan protes mereka.

Abhisit ditekan oleh kaum garis-keras untuk menggunakan kekerasan guna menghancurkan protes ini. Ketika para pemimpin kaos-merah mengubah tuntutan mereka, pemerintah segera menarik mundur tawaran mereka. Bagi pemerintah, tawaran pemilu baru adalah terlalu banyak, sedangkan bagi massa rakyat, yang telah terradikalisasi oleh gerakan, ini terlalu kecil. Dalam kata-kata majalah The Economist:

“Mereka tidak mempercayai para pemimpin yang berbicara mengenai kompromi setelah banyak darah yang telah tertumpah. Lebih baik tetap berjuang dan meneruskan tekanan pada pemerintah. Para demonstran kaos-merah garis keras tidak akan menyerah begitu mudah.”

Reaksi Bersiap-Siap

Pemerintah Thailand sengaja membesar-besarkan kekerasan dari gerakan Kaos Merah yang membakar ban-ban mobil dan menembakkan roket buatan-rumah, berulang-ulang menggambarkan mereka sebagai “teroris” yang mempersiapkan sebuah pemberontakan bersenjata, guna membenarkan penggunaan penembak jitu yang mematikan dan penghancuran gerakan ini dengan militer. Uji kekuatan yang pertama datang pada tanggal 10 April, dimana 25 orang terbunuh dan ratusan lainnya terluka ketika pasukan militer berusaha untuk menyingkirkan para demonstran dari Bangkok. Pada saat itu, beberapa prajurit mati, rupanya oleh penembak berpakaian hitam dengan senjata dari angkatan bersenjata.

Penumpasan berdarah pada tanggal 10 April menunjukkan kemunafikan di balik “jalan” perdamaian Abhisit. Dia tidak memiliki keinginan untuk mengembalikan demokrasi di Thailand. Hanya ada dua jalan keluar: rakyat menumbangkan pemerintahan ini – dan monarki reaksioner yang ada di belakangnya – atau reaksi militer akan mengembalikan “ketertiban” dengan peluru dan bayonet.

Kelas menengah yang sejahtera di Bangkok marah karena kehidupan mereka terganggu, jalan mereka diduduki, dan mal-mal mewah mereka terganggu. Kaum kaos-kuning Royalis mengancam akan meneruskan protes mereka dan mendukung penggunaan hukum-hukum represif dan kekerasan untuk melawan gerakan massa rakyat.

Prospek pertikaian berdarah sangatlah jelas bagi semua orang. Duta-duta besar menutup pintu mereka, dan beberapa negara, termasuk Amerika Serikat, memperingatkan penduduk mereka untuk tidak berkunjung ke Bangkok. Departemen Luar Negeri menganjurkan kepada rakyat Amerika untuk memikirkan ulang perjalanan mereka ke Thailand karena “kekacauan politik dan pemberontakan sipil yang meluas di Bangkok dan beberapa tempat lainnya.”

Semua ini mengindikasikan bahwa angkatan bersenjata Thailand sedang mempersiapkan ofensif final. Namun, pemerintah masih bimbang. Angkatan bersenjata menghindari konfrontasi langsung dan sebaliknya mencoba mencekik gerakan Kaos Merah perlahan-lahan. Tentara membangun barikade dan kawat berduri di semua jalan menuju kamp protes, memblokade jalur suplai, dan menutup semua jalan keluar.

Mereka mendeklarasi dua daerah kota Bangkok, yakni Din Daeng dan Bon Kai, sebagai “zona tembak”. Jendral-jendral senior mengancam bahwa siapapun yang masuk ke zona ini akan langsung ditembak. Respon dari Kaos Merah adalah meluaskan teritori yang mereka kontrol, dan cepat-cepat membangun barikade-barikade baru dari ban dan mobil, dan bila terancam mereka membakar barikade tersebut. Beberapa rumah juga terbakar, dan ada laporan bahwa toko-toko dan gedung-gedung yang terletak di antara barikade Kaos Merah dan tentara diserang.
Perpecahan di dalam Angkatan Bersenjata

Perjuangan kelas di Thailand sekarang telah mencapai tingkat yang teramat tinggi. Bila ada kepemimpinan yang memadai, gerakan massa ini sudah tentu bisa menumbangkan kekuasaan oligarki. Rejim ini dapat merasakan tanah pijakan mereka bergetar. Di satu pihak, gerakan massa revolusioner berkembang dengan pesat, di pihak yang lain jelas ada perpecahan di dalam tubuh angkatan bersenjata dan polisi. Ada banyak laporan mengenai fraternisasi antara rakyat dan tentara, atau bahkan demonstran yang menduduki barak tentara.

Sayangnya, para pemimpin protes goyah dan menunjukkan bahwa mereka tidak siap untuk berjuang sampai akhir. Ini memungkinkan kekuatan konter-revolusioner untuk mengambil kembali inisiatif.

Angkatan bersenjata jelas takut berkonfrontasi langsung dengan Kaos Merah. Buktinya, sampai pagi ini (19 Mei) mereka belum merebut teritori dari Kaos Merah, dan justru mencoba mencekik para demonstran dengan memotong suplai makanan dan air, listrik, dan komunikasi. Tetapi ini tidak cukup untuk mengakhiri protes. Cepat atau lambat mereka harus meluncurkan serangan akhir yang bengis untuk menyingkirkan para demonstran.

Tetapi ada masalah. Tentara bawahan selalu ragu untuk menembak rakyat yang tidak bersenjata. Ini seratus kali benar untuk tentara wajib, yang kebanyakan datang dari keluarga tani miskin. Para perwira oleh karena itu menggunakan penembak jitu yang bersembunyi di gedung-gedung tinggi untuk menembak para demonstran.

Salah satu korbannya adalah Khattiya Sawasdipol, mantan jendral angkatan bersenjata Thailand, yang menjadi pemimpin milisi kaos-merah. Dia dengan tegas menentang “perjanjian damai” yang membawa Abhisit ke kekuasaan. Pada malam 13 Mei, sebuah peluru dari penembak jitu menerjangnya. Dia mati di rumah sakit. Angkatan bersenjata menyangkal keterlibatan mereka, tetapi tidak ada yang percaya ini. Kaum kaos-merah tetap mempertahankan posisi mereka dengan keberanian yang mengagumkan, walaupun tentara menembaki mereka dengan peluru sungguhan, yang menyebabkan banyak orang mati dan terluka.

Pembunuhan berdarah dingin terhadap Khattiya Sawasdipil membuat marah para pendukungnya dan memercikkan gelombang pertikaian yang baru di sekitar perimeter lokasi protes, yang meluas ke tempat lain. Seluruh distrik Bangkok lumpuh, dan kekacauan semakin menguat di luar Bangkok. Keadaan gawat darurat diumumkan di lima propinsi pada hari Sabtu (15 Mei), membawa jumlah propinsi yang sekarang ada di dalam keadaan gawat darurat menjadi 22, yakni hampir sepertiga negeri Thailand [Thailand memiliki 75 propinsi – penerjemah].

Ada foto-foto di internet yang menunjukkan sekelompok massa gusar yang merebut truk tentara, sementara para prajurit tidak melakukan apa-apa untuk menghentikan mereka. Para demonstran merebut truk dan senjata, dan lalu berteriak: “Hidup rakyat! Jatuhkan kediktaturan!” Pada tanggal 28 April, ada laporan bahwa:

“Kaos Merah telah menangkap beberapa prajurit yang mencoba menginfiltrasi demonstrasi di Rajprasong. Tampaknya mereka diperintahkan untuk menembak para pemimpin Kaos Merah. Tawanan ini diperlakukan dengan baik.”

Pemerintah mengumumkan jam malam. Ini membawa gelombang kemarahan dari para demonstran. Akan tetapi, angkatan bersenjata kemudian membatalkan niat tersebut, mengatakan bahwa jam malam tersebut “tidak dibutuhkan”. Jelas bahwa pemerintah dan angkatan bersenjata masih ragu sebelum menghantarkan serangan akhir yang fatal. Kita juga tahu bahwa keraguan ini bukanlah karena pertimbangan sentimental atau kemanusiaan, tetapi karena rasa takut.
Ofensif Kontre-Revolusioner

Ini adalah situasi yang tidak bisa berlangsung terus menerus. Di satu pihak, pemerintah telah kehilangan kontrol di jalan-jalan, dan telah kehilangan keberanian mereka. Di pihak lain, para pemimpin kaos-merah tidak mampu mengumpulkan keberanian untuk menyerukan pemogokan umum dan bergerak untuk merebut kekuasaan. Tidak adanya inisiatif yang tegas dari para pemimpin protes telah memungkinkan Abhisit untuk mendapatkan kembali keberaniannya. Pada akhirnya, pemerintah, ditekan oleh kaum reaksioner, memutuskan untuk melakukan ofensif.

Abhisit mengungkapkan keputusannya untuk mengakhiri protes ini dan memberikan peringatan bahwa pengorbanan “harus diterima”. Ini berarti bahwa lampu hijau telah diberikan kepada angkatan bersenjata untuk menumpas para demonstran – tidak peduli korban jiwa. Tentara telah mengelilingi lokasi protes. Para demonstran diminta untuk pergi, dengan prioritas diberikan kepada wanita, anak-anak, dan orang tua. Mereka yang tinggal menghadapi nasib yang tidak jelas.

Situasi yang dihadapi oleh para demonstran sangatlah sulit. Suplai makanan dan air semakin berkurang, dan demonstran bantuan dari luar dicegah untuk masuk ke lokasi protes. Tentara memiliki keunggulan yang jelas dalam hal persenjataan yang superior dan disiplin. Tetapi massa rakyat memiliki satu senjata yang jauh lebih serius: kesediaan mereka untuk mati. Keteguhan yang keras ini memberikan rasa takut pada tentara bawahan dan membuat mereka ragu.

Pada tanggal 13 Mei, pemerintah melancarkan sebuah serangan terhadap demonstran kaos merah. Awalnya mereka berhati-hati, gelisah akan hasil serangan ini, dan ragu akan kesetiaan tentara mereka. Jurnalis-jurnalis Barat melaporkan bahwa para tentara tampak gelisah, bahkan takut. Mereka menembak ke udara dan melemparkan gas air mata. Kaum kaos merah tidak terintimidasi, tetapi membalasnya dengan membangun barikade, melempar batu, menembak ketapel dan roket buatan rumah, dan melempar bom Molotov.

Pertanyaan yang utama adalah: apa hasil dari konfrontasi langsung ini? Dari sudut pandang militer, pertanyaan ini menjawab dirinya sendiri. Tidak mungkin barikade dan roket buatan-rumah dapat melawan kedisiplinan dan kekuataan persenjataan moderen. Tetapi ini bukan hanya masalah militer. Pertama-tama, di belakang tank dan senjata berdiri manusia, yang dapat dipengaruhi bila melihat rakyat yang bangkit. Kesatuan tentara bukanlah satu hal yang dapat diabaikan.

Satu laporan dari Internet menyatakan:

“Benturan-benturan sporadik terjadi di Bangkok dan propinsi-propinsi. Pemerintah berusaha sekuat mungkin untuk mempertahankan kekuasaan dengan membunuh para demonstran pro-demokrasi. Perpecahaan tampak di tubuh pasukan bersenjata, dimana ada laporan bahwa beberapa polisi dan unit tentara menembaki pasukan yang maju. Sungguh ini adalah sebuah situasi perang saudara dan Pemerintah tidak bisa mengendalikan situasi.” (Penekanan oleh saya, AW)

Apakah mediasi memungkinkan?

Sayangnya, para pemimpin demonstran tidak memiliki perspektif yang tepat. Mereka menyerukan negosiasi di bawah pengawasan PBB. Ini tidak ada mungkin berhasil. Di dalam peperangan antara kaum kaya dan miskin, tidak akan ada wasit atau arbitrase. Tidak ada aturan di dalam peperangan ini. Satu-satunya aturan, pada akhirnya, adalah satu kelas harus menang dan kelas yang lain harus kalah.

Pemerintah menolak semua tawaran negosiasi, dengan mengatakan bahwa negosiasi hanya dapat dimulai bila para demonstran meninggalkan barikade mereka di Bangkok. Pada hari Minggu (16 Mei), pemerintah Thai menolak permintaan oleh Kaos Merah untuk mengadakan gencatan senjata dan negosiasi di bawah lindungan PBB. PBB sendiri belum merespon permintaan ini.

Berbicara di televisi di seluruh channel Thailand, Abhisit mengatakan:

“Selama protes Kaos Merah masih berlangsung, teroris bersenjata akan tetap ada dan melukai rakyat dan pihak otoritas. Ancaman dan kekerasan akan meningkat. Saya menekankan bahwa mengakhiri protes ini adalah satu-satunya cara untuk menghindari korban.

“Kita tidak boleh membiarkan elemen-elemen kriminal menawan Bangkok. Kita tidak akan membiarkan sebuah kelompok bersenjata yang tidak senang dengan pemerintah untuk menyerang dan melukai pihak otoritas. Tidak akan ada titik balik dalam usaha kita untuk mempertahankan negara legal. Korban harus ditanggung. Ini satu-satunya cara menuju kebenaran.”

Korban dari kekerasan konter revolusi adalah para demonstran tak bersenjata. Pemerintah mengatakan bahwa tentara punya hak untuk melindungi dirinya sendiri. Tetapi saksi mata melaporkan tentara yang menembak tanpa ragu-ragu dan penembak jitu di atap-atap gedung. Abhisit membela aksi tentara: “Pemerintah harus terus maju,” katanya.

“Kita tidak bisa mundur karena kita sedang melakukan hal yang menguntungkan seluruh negeri. Bila kita ingin melihat akhir dari jatuhnya korban, satu-satunya cara adalah memaksa para demonstran untuk mengakhiri protes mereka.”

Pemerintah bermain-main dengan para pemimpin protes, tampak memberikan konsesi sementara di belakang secara sistematis mempersiapkan serangan akhir yang penuh darah. Guna mengalihkan perhatian publik dan internasional dari rencana ini, Abhisit menawarkan pemilu yang baru – tetapi hanya di bulan Nopember, dan dengan syarat bahwa protes massa harus diakhiri. Bahkan bila pemilu Nopember diselenggarakan, mengapa kita percaya bahwa kaum royalis tidak akan membatalkan hasil pemilu yang tidak mereka setujui, dengan politik jalanan atau hakim korup?

Merasakan bahwa ini adalah perangkap, para pemimpin Kaos Merah tidak memberikan jawaban tegas. Perdana Menteri Abhisit segera mengumumkan bahwa tawaran dia telah ditolak, menarik mundur “rencana” pemilu, dan memerintahkan tentara untuk terlibat. Ini sudah merupakan rencananya sejak awal.
Kepahlawanan Para Demonstran

Pertempuran jalanan yang mematikan antara pasukan keamanan dan demonstran kaos-merah tidak menunjukkan tanda akan mereda. Sebaliknya, benturan-benturan telah menyebar ke bagian lain ibukota, dan juga propinsi-propinsi. Juga tembakan tidak hanya datang dari satu arah. Wartawan melaporkan pemuda-pemuda dengan penutup muka hitam dan bersenjata menembaki pasukan tentara. Beberapa laporan lainnya (yang belum terkonfirmasi) mengatakan bahwa beberapa tentara dan polisi menembaki pasukan tentara. Koran Sydney Morning Herald menggambarkan situasi di lapangan:

“Tetapi di jalan-jalan, ada rasa takut. Rasa takut di mata pasukan Kaos Merah yang berdiri teguh, tetapi gelisah, di jalan masuk ke kamp yang terbarikade.

“Penuh dengan keberanian, Annan mendemonstrasikan ketapelnya, menarik karet ketapel, membidik penembak jitu, sungguhan atau imajiner, di gedung-gedung sekitarnya. Di dekat kakinya adalah setumpuk batu untuk dilemparkan ke pasukan yang mendekat. Di kantong belakangnya adalah sebuah peluncur roket buatan rumah yang dibuat dari bambu dan besi tua, untuk menembak kembang api ke tentara dan helikopter polisi. Senjata ini adalah seperti tusukan jarum terhadap senapan dan M-16 dari tentara yang berlindung di belakang tumpukan karung pasir dan kawat berduri ratusan meter jauhnya.

“Barikade dimana Annan berdiri di belakangnya, yang dibangun selama berminggu-minggu protes, adalah sebuah tembok besar dari ban-ban mobil dan bambu runcing, setinggi empat meter. Barikade ini berbau bensin. Bersiap-siap menghadapi tentara yang akan menyerang dalam waktu dekat, para demonstran kaos merah mengisi barikade mereka dengan bensin, siap membakar kota mereka sebelum menyerahkannya.

“ ‘Kami sedang dibunuhi. Kami semua takut, tapi kami tetap bertahan.’ ”

“Tetapi rasa takut juga tertulis di wajah para prajurit di jalan Rama IV, di bagian selatan zona Kaos Merah. Lewat megaphonne, mereka meminta para demonstran untuk berdamai. ‘Kami adalah tentara rakyat. Kami hanya melaksanakan tugas kami untuk bangsa. Saudara saudari, mari kita berbicara.’ Harapannya kecil untuk itu.”

Di bawah kondisi seperti ini, sangatlah mengejutkan untuk melihat keberanian dan keteguhan yang mengagumkan dari rakyat jelata: anak petani, penjaga toko kecil, buruh, ibu-ibu – semua berdiri bersama menghadapi peluru dan tank. Ini adalah jawaban terhadap semua skeptik, penakut, dan pengkhianat yang meragukan kemampuan kelas pekerja untuk mengubah masyarakat.

Walaupun dalam kesulitan yang teramat besar, kaum kaos merah berdiri teguh, menatap kematian di depan mata tanpa rasa takut. Sebuah laporan internet dari seorang aktivis Thailand yang tinggal di London mengatakan: “Deputi dari Serikat Buruh Listrik Metropolitan Bangkok telah membawa para buruh untuk bergabung dengan protes Kaos Merah di Rajprason” --- Pemimpin Kaos Merah baru mengatakan bahwa “Kita adalah seperti Spartacus!!!”
Kelemahan Kepemimpinan

Angka korban yang mati dari empat hari pertempuran jalanan telah naik ke 67 dan ratusan lainnya terluka. Angkatan bersenjata meminta anak-anak dan perempuan untuk meninggalkan area protes. Tetapi kemarin, kecuali sekelompok kecil perempuan tua dan beberapa anak-anak, tawaran ini ditolak. Para demonstran siap untuk bertahan hingga akhir. Di Rajprasong, mereka bernyanyi “Ini adalah sebuah perang kelas untuk menyapu otokrasi.”

Sayangnya, keberanian yang sama tidak ditunjukkan oleh kepemimpinan. Beberapa pemimpin Kaos Merah mengindikasikan bahwa mereka siap kembali ke meja negosiasi, tetapi hanya bila tentara segera ditarik mundur dari jalan-jalan dan PBB dibawa masuk untuk menengahi: “Kami ingin PBB untuk menengahi ini karena kami tidak percaya siapapun. Tidak ada kelompok di Thailand yang netral,” kata Nattawut Saikua, salah satu pemimpin utama protes. Ini adalah kenaifan yang ekstrim.

Situasi sekarang telah melewati batasan institusi parlemen dan legal, yang hanya mampu berhasil pada taraf tertentu bila mayoritas rakyat mengakuinya. Tetapi dalam analisa terakhir, semua masalah fundamental akan diselesaikan di luar parlemen: di jalan-jalan dan pabrik, dan di barak tentara. Jurnalis Australia Walker dan Farrelly menulis:

“Kesalahan utama Thailand adalah kehilangan kepercayaannya pada proses elektoral. Kehilangan kepercayaan ini membuka jalan bagi elemen garis-keras untuk mengejar alternatif kekerasan. Kekerasan dari semua pihak adalah tercela, tetapi ingat, mereka yang mengutuk provokasi Kaos Merah adalah mereka yang telah secara konsisten menyangkal legitimasi pernyataan damai mereka di kotak suara.”

Pemerintah menanggapi tuntutan intervensi PBB dengan kebencian: “Bila mereka benar-benar ingin berbicara, mereka tidak boleh meminta syarat seperti meminta kami untuk menarik mundur tentara,” kata Korbsak Sabhavasu, sekjen Perdana Menteri. Tidak ada prospek mediasi sama sekali. Di belakang tes kekuatan dan tekad ada benturan antara kepentingan yang saling bertentangan. Pemerintah bertekad untuk menyingkirkan para demonstran, dan para demonstran bertekad mempertahankan posisi mereka.

Abhisit memperingatkan bahwa pemerintahan dia tidak akan “menyerah pada demonstran”, dan tentara akan maju meremukkan para demonstran. Menteri luar negeri Thailand, Kasit Piromya, mengeritik diplomat-diplomat asing yang berkomunikasi dengan kaum kaos merah, yang dia sebut sebagai “teroris”. Ini adalah suara sejati dari kelas penguasa Thailand. Ini adalah suara dari sebuah kelas yang siap berjuang sampai akhir demi melindungi hak-hak istimewa kelasnya.

Tetapi bagaimana dengan para pemimpin protes? Dari awal para pemimpin Kaos Merah telah berulang-ulang menawarkan negosiasi dengan pemerintah, dimana semuanya ditolak. Pemerintah mengerti apa yang tidak dimengerti oleh para pemimpin protes ini: bahwa gerakan ini merupakan ancaman fundamental bagi kelas penguasa, yang hanya dapat dihadapi dengan kekerasan.

Anggota kaos merah di bawah siap berjuang. Tetapi di menit-menit terakhir, kepemimpinan UDD mengumumkan dari panggung bahwa mereka akan menyerahkan diri mereka ke polisi dan mengakhiri demonstrasi karena mereka “tidak tahan melihat lebih banyak korban”. Dengan menunjukkan kelemahan, para pemimpin ini memberikan lampu hijau kepada tentara untuk menyerang, karena tentara tahu bahwa mereka tidak akan menemukan perlawanan.

Ini akan memberikan efek demoralisasi yang dalam pada gerakan massa. Pemimpin yang sebelumnya telah mendorong mereka untuk melawan sekarang memerintahkan mereka untuk menyerah. Laporan-laporan dari Bangkok mengatakan bahwa para anggota di bawah sangatlah marah mengenai keputusan ini. Ini tidaklah mengejutkan. Sejarah perjuangan kelas menunjukkan bahwa lebih baik kalah dalam perjuangan daripada menyerah tanpa melawan.
Perjuangan untuk Demokrasi

Pencapaian demokrasi sejati tidak akan mungkin tanpa menumbangkan oligarki. Tetapi penumbangan oligarki tidak akan mungkin tanpa menumbangkan monarki Thai. Raja Bhumibol Adulyadej sekarang sudah berusia 82 dan dalam kondisi kesehatan yang buruk. Tetapi dia adalah titik persatuan dari seluruh kekuatan reaksioner.

Tendensi Marxis Internasional (International Marxist Tendency, IMT) menyatakan dukungan penuhnya untuk gerakan revolusioner rakyat Thailand. Kami mendukung tuntutan pembubaran pemerintahan Abhisit dan penyelenggaraan pemilu yang bebas dan demokratis. Kami membela semua hak-hak demokratis, dan terutama hak rakyat untuk berorganisasi, berdemonstrasi, dan mogok. Guna menjamin hak-hak ini, kami menuntut diselenggarakannya sebuah majelis konstituante untuk merancang sebuah konstitusi demokratis yang sejati, dimana poin utamanya adalah penghapusan monarki.

Orang bilang bahwa monarki Thai adalah sebuah institusi terhormat, yang direstui oleh agama dan kekuataan tradisi yang lama. Tetapi hal yang sama juga benar untuk dinasti Romanov di Rusia Tsar. Namun yang dibutuhkan hanyalah sebuah pertempuran berdarah pada tanggal 9 Januari 1905 dimana semua prasangka monarkis tersapu dari kesadaran rakyat Rusia. Apapun hasil dari benturan-benturan yang sekarang terjadi di jalan-jalan Bangkok, efek yang sama akan terjadi.

Kebencian mendalam terhadap pemerintahan kaum kaya akan secara tak terelakkan tersalurkan ke sumbernya, yakni kerajaan Thai. Tuntutan untuk sebuah Republik akan tumbuh, menyatukan lapisan masyarakat yang luas. Dan dengan setiap langkah ke depan yang diambil oleh rakyat, akan menjadi semakin jelas bahwa satu-satunya jalan ke depan adalah melalui sebuah pemerintah buruh dan tani miskin.

Seperti halnya di semua negara, seperti juga di Thailand, institusi monarki bukanlah hanya sebuah sisa-sisa masalalu yang tidak penting, sebuah anakronisme yang penuh warna tetapi pada esensinya tidak penting, sesuatu untuk dikagumi oleh turis-turis. Monarki Thai adalah sumber reaksi, sebuah simbol properti, kekuasaan, kekayaan, dan privilese, sebuah titik persatuan bagi semua kekuatan konter revolusi. Ia harus disapu bila revolusi ingin maju.

Pada saat yang sama artikel ini ditulis, nasib gerakan massa di Bangkok sedang ditentukan. Karena kapitulasi kepemimpinan, sangat mungkin sekali kalau babak pertama dari perjuangan ini akan berakhir dengan kekalahan. Tetapi ledakan perjuangan kelas ini akan memiliki konsekuensi yang dalam. Thailand tidak akan pernah sama lagi. Pemerintahan apapun yang keluar dari kekacauan ini secara fundamental tidak akan stabil. Tidak akan ada penyelesaian yang tahan lama. Kebangkitan-kebangkitan yang baru tidak akan terelakkan.

Gerakan demokratis revolusioner telah diisi dengan perjuangan kelas. Ini akan melewati batasan yang pada awalnya ditentukan oleh kepemimpinan gerakan ini. Kelas pekerja Thai punya kepentingan untuk berjuang demi tuntutan-tuntutan demokratis yang paling maju. Hanya dengan menyapu bersih semua sampah feodalisme maka kaum buruh dapat mencapai kondisi yang dibutuhkan untuk mengembangkan perjuangan kelas. Namun kaum buruh harus berjuang untuk demokrasi dengan senjata kelas mereka: kelas buruh harus menyerukan pemogokan umum untuk menjatuhkan pemerintah!

Sebuah pemogokan umum, yang diorganisir melalui komite-komite aksi, adalah satu-satunya cara untuk mengacaukan kekuatan konter revolusi dan memberikan bentuk organisasi dan kesatuan untuk gerakan massa revolusioner. Pencapaian demokrasi membutuhkan rekonstruksi revolusioner menyeluruh di dalam masyarakat Thailand dari atas hingga bawah. Dan tujuan ini hanya dapat dicapai bila kelas pekerja menempatkan dirinya di garda depan masyarakat untuk menumbangkan oligarki yang dibenci, dengan mengikuti contoh dari buruh dan tani Rusia pada tahun 1917.

London, 19 Mei 2010
Written by Alan Woods Thursday, 27 May 2010

Diterjemahkan oleh Ted Sprague dari “Revolution and Counter-Revolution in Thailand”, Alan Woods, 19 Mei 2010

Source: Militan (Indonesia)

Baca lanjutannya »»

Jumat, 30 April 2010

Statemen Politik Partai Rakyat Demokratik, menyambut Hari Buruh Se-dunia

Selamat Hari Buruh Sedunia!

Hentikan Penutupan Pabrik Karena Neoliberalisme, Rebut kembali kedaulatan nasional untuk membangun dan memperkuat pabrik nasional.

Pada hari ini kaum buruh di mana saja, dimana pun ia berada, di Indonesia atau di belahan dunia lain, sedang turun ke jalan-jalan untuk memperingati hari buruh se-dunia. Untuk kita, di Indonesia, peringatan hari buruh mempunyai arti sangat penting, karena bertepatan dengan krisis politik dan krisis ekonomi yang saling beririsan.

Harus diakui, ada banyak saudara-saudara kita yang tahun lalu masih mengikuti peringatan hari buruh, namun untuk tahun ini sudah tidak lagi karena sudah ter-PHK dari pabriknya. Ya, PHK massal dan penutupan pabrik, kedua persoalan ini menjadi momok paling menakutkan bagi kaum buruh di Indonesia saat ini. Fenomena de-industrialisasi menjadi "hantu" menakutkan bagi kaum buruh dan industrialis di dalam negeri.

Untuk tahun 2009 saja, berdasarkan data yang dirilis Depnakertrans (hingga Maret 2009, triwulan pertama) korban PHK sudah mencapai 41.109 orang dan 16.229 orang dirumahkan, sebagian besar karena pengaruh krisis global. Sedangkan menurut sumber lain, Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), korban PHK pada tahun 2009 diperkirakan mencapai 1,5 juta orang hingga 3 juta orang buruh.


Pada tahun yang sama, sebagian industri di dalam negeri telah tutup karena persoalan pasar, bahan baku, dan liberalisasi ekonomi. Industri tekstil, sebagai contoh, pada 2008 terdapat 55 pabrik tekstil tutup, dan 59.762 orang ter-PHK. Tahun 2009 271 perusahaan tutup, 18.396 orang di PHK.

Ekonomi nasional memang sedang sakit, selain karena dijangkiti oleh penyakit korupsi, juga karena adanya tumor ganas bernama "neoliberalisme". Karena pemerintah begitu "doyan" menerapkan neoliberalisme, maka industri dalam negeri kehilangan akses bahan baku, kehilangan akses pasar, dan kehilangan "perlindungan" dari negara.

Negara tidak lagi menjadi pelindung kepentingan nasional, apalagi menjadi penjaga kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Saat ini, karena anjuran neoliberalisme, negara yang dipimpin oleh SBY-Budiono telah menjual kedaulatan nasional kepada negeri-negeri imperialis, bahkan konstitusi (UUD 1945) dan Pancasila telah dilucuti karakter anti-kolonialnya.

Ironisnya lagi, Indonesia yang sudah puluhan tahun merdeka ini, ternyata belum memiliki sistim jaminan sosial bagi rakyatnya, termasuk kaum buruh. Memang, pada tahun 2004, Indonesia sudah memiliki UU nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), namun masih bermasalah hingga sekarang. Ada upaya pemerintahan SBY untuk menjalankan UU SJSN melalui pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), tetapi itupun tidak menjawab persoalan jaminan sosial bagi kaum buruh dan rakyat miskin. Pertama, keempat BUMN (Jamsostek, PT Taspen, PT ASABRI, da PT Askes) yang ditunjuk sebagai panitia semuanya berstatus hukum persero. Itu berarti BPJS ini akan memiliki orientasi laba (keuntungan), sedangkan semangat UU SJSN adalah nirlaba (orientasi sosial). kedua, keempat BUMN yang ditunjuk menjadi paniti BPJS hanya bisa melayani melayani pegawai negeri sipil (PNS), pensiunan, TNI, Polri, purnawirawan, serta sebagian kecil pegawai perusahaan swasta, bagaimana dengan pekerja sektor informal (tukang becak, tukang bakso, dll). Ketiga, UU SJSN ini dianggap memberikan beban tambahan bagi buruh dan pengusaha karena adanya iuran yang harus dibayarkan dan bersifat wajib.

Harus disadari, kaum buruh tidak akan dapat mencapai sedikit kemajuan apapun, apabila rantai-rantai penindasan bangsa lain masih mengikat tangan dan kami bangsa kita. Bagimana kita bisa berbicara kesejahteraan rakyat, termasuk kaum buruh, jikalau kita belum bebas menjalankan perekonomian nasional sendiri, mengelolah sumber daya alam sendiri, mengelolah tenaga kerja sendiri, dan mengelolah keuangan sendiri.

Untuk itu, dalam peringatan hari buruh hari ini, Partai Rakyat Demokratik (PRD) mengajak kepada tiga kekuatan utama produktif nasional; buruh, rakyat miskin, dan pengusaha nasional yang berpihak kepada kepentingan nasional, untuk bergandengan tangan dalam membangun pemerintahan nasional yang mandiri, berdaulat, dan berkepribadian. Untuk itu, dalam pandangan PRD, kaum buruh harus berada di garda depan untuk menuntaskan perjuangan nasional, merebut kembali kedaulatan nasional.

Karena itu, perjuangan buruh Indonesia tidak dapat ditawar-tawar lagi, mau tidak mau, harus menjadi sebuah perjuangan politik. Kaum buruh harus memandang perjuangan politik itu sama pentingnya dengan perjuangan untuk kebutuhan perut. Untuk itu, gerakan buruh harus bersedia bekerjasama dan berkolaborasi dengan sektor gerakan rakyat lainnya seperti rakyat miskin perkotaan, mahasiswa, dan petani, untuk mendorong lahirnya politik persatuan yang berporoskan pada anti-neoliberalisme dan anti-imperialisme.

PRD, sebagai partai yang mengembang amanah penderitaan rakyat, mengajak kaum buruh di seluruh Indonesia untuk bersatu-padu sebuah kekuatan politik alternatif.

Berikut ini adalah garis besar tuntutan kami:

1. Hentikan penutupan pabrik/industri di seluruh Indonesia; dengan jalan:

1. Pemerintah harus menjamin pasokan bahan baku dan energi bagi kebutuhan industri di dalam negeri. Negara harus melarang penjualan gas, BBM, batubara, dsb ke luar negeri, sebelum kebutuhan di dalam negeri terpenuhi.

2. Pemerintah harus menjamin pasar bagi produk dalam negeri. Untuk itu, pemerintah harus membatalkan seluruh agenda perdagangan bebas yang sudah ditandatangani (WTO/FTA), serta menaikkan pajak impor untuk komoditi sejenis.

3. Pemerintah harus meluncurkan program kredit untuk menolong industri nasional, dengan memprioritaskan pada usaha menengah dan kecil.

4. Pemerintah harus memfasilitas kaum buruh untuk mengambil alih dan menjalankan pabrik-pabrik yang ditinggalkan pengusahannya.

2. Berantas korupsi dan ekonomi biaya tinggi hingga ke akar-akarnya, terutama skandal besar seperti kasus Bank Century, kasus pajak di Dirjen Pajak, dll. Pemerintah harus memberikan ruang bagi gerakan rakyat untuk terlibat aktif dalam pemberantasan korupsi ini.

3. Mencabut segala UU/peraturan yang bertentangan dengan hak-hak kaum buruh, yang berarti juga bertentangan dengan Pancasila, diantaranya UU nomor 13 tahun 2003 tentang ketenaga-kerjaan.

4. Menuntut pemerintah segera mengimplementasikan system jaminan sosial nasional kepada seluruh rakyat, termasuk buruh dan para penganggur.

Demikian statemen ini dibuat. MERDEKA!


Jakarta, 30 April 2010

Hentikan Neoliberalisme, Rebut Kembali Kedaulatan Nasional

Komite Pimpinan Pusat-Partai Rakyat Demokratik

KPP-PRD
Agus Jabo Priyono Gede Sandra
Ketua Umum Sekretaris Jenderal

Baca lanjutannya »»

Rabu, 31 Maret 2010

Mencari Politisi Progresif

Oleh : Airlangga Pribadi

Saat arus politik utama di Indonesia mempertontonkan tindakan elite-elite politik yang miskin integritas dan komitmen publik, maraknya para mantan aktivis gerakan mahasiswa melompati pagar untuk memasuki partai politik sering dianggap sebagai pengkhianatan atas perjuangan awalnya.

Persoalan menjaga komitmen perjuangan politik bukanlah persoalan pada wilayah aktivitas, baik di dalam maupun di luar sistem. Komitmen para politisi akan teruji ketika dalam praksis politiknya mereka tetap konsisten memiliki visi kekuasaan progresif. Visi kekuasaan yang menghadirkan rakyat sebagai kekuatan utama dalam melakukan kontrol terhadap arena politik ataupun perubahan di dalamnya.

Ke depan, kita akan menyaksikan sepak terjang para elite politik muda di DPR yang mengawali karier politik sebagai aktivis gerakan mahasiswa, seperti Budiman Sudjatmiko, Pius Lustrilanang, Anas Urbaningrum, dan Andi Rakhmat. Sejarah akan mencatat apakah kiprah mereka membenarkan gambaran dominan bahwa ruang politik dan orang-orang di dalamnya nista dan kotor ataukah mereka tampil membawa perubahan lebih baik dalam arena politik.

Mampukah mereka mempertahankan komitmen pada keadilan publik, di tengah arena politik Indonesia yang bergerak dalam logika kepentingan elite yang berjarak dari publik daripada logika komitmen politik yang melekat pada kepentingan publik.



Perjuangan para elite politik baru ini tidaklah mudah dalam ruang politik Indonesia. Struktur kesempatan politik yang tersedia tak memberikan pilihan banyak untuk melakukan perubahan-perubahan politik yang bermakna. Kerap kali upaya-upaya untuk memperlihatkan komitmen para politisi muda terhadap kehendak rakyat masih harus berhadapan dengan tembok besar oligarki politik elite. Para elite politik utama yang masih mengalkulasi setiap langkah politik mereka semata-mata sebagai kesempatan untuk mengakumulasi pertambahan modal ataupun kekuasaan politik mereka sendiri.

Kehendak menarik garis sejajar antara tindakan politik politisi dan suara publik masih harus berhadapan dengan tembok besar kepentingan elite-elite utama partai yang memegang kunci tertinggi kebijakan politik di internal partai. Ilustrasi yang merisaukan dari kenyataan ini muncul tak lama setelah publik mulai berharap terbitnya titik cerah dalam wilayah politik ketika mayoritas suara legislator dianggap sejalan dengan komitmen keadilan publik, permainan politik elite segera tampil mengedepan.

Keberhasilan para legislator memenangkan opsi C yang menegaskan adanya penyimpangan hukum dan penyelesaian melalui jalur hukum dalam bail out Bank Century segera diikuti, misalnya, oleh munculnya wacana untuk merapat pada koalisi pemerintahan SBY di internal tubuh elite PDI Perjuangan (kekuatan oposisi terbesar saat ini) dalam kongres mendatang (Kompas, 8 Maret 2010). Wacana ini muncul hanya karena kelelahan politik untuk setia pada pilihan oposisi yang tidak memberikan sumber daya ekonomi dan kue kekuasaan yang besar bagi partai.

Munculnya gagasan tersebut di internal elite partai memperlihatkan bahwa dukungan suara publik masih belum dimaknai oleh elite politik sebagai modal sosial untuk mengartikulasikan keresahan publik dan konsistensi mereka untuk berpijak dalam posisi politik yang autentik. Arus dukungan publik dan tekanan politik lagi-lagi masih dimaknai oleh elite-elite utama partai sebagai modal untuk melakukan transaksi politik bagi kepentingan merapat pada kekuasaan.

Kapasitas transformatif

Setiap proses dan dinamika politik dimaknai oleh elite sebagai peristiwa yang lahir dari interaksi politik dan transaksi kepentingan di antara mereka. Publik dalam konteks politik seperti ini hanya jadi penonton ataupun suporter. Masyarakat hanya dipandang sebagai pihak yang menerima akibat dari tindakan yang dilakukan elite politik. Tentu tidak mudah bagi para elite politik berlatar aktivis melakukan kerja perubahan dalam lingkungan politik di Indonesia yang teralienasi dari kehendak publik ataupun konstituennya. Untuk memperjuangkan hadirnya politik progresif di Indonesia, para politisi-aktivis yang berkomitmen harus terlebih dahulu berpikir keluar dari perspektif kekuasaan sebagai praktik dominasi.

Seperti diutarakan aktivis gerakan sosial transnasional Hilary Wainwright (2009) dalam Rethinking Political Organisation, realitas politik kontemporer butuh pemahaman baru akan praktik kekuasaan. Kekuasaan haruslah dimaknai bukan sebagai praktik dominasi, tetapi praksis untuk menggerakkan kapasitas transformasi bersama rakyat (power as transformative capacity). Rakyat adalah subyek dalam proses politik yang menempatkan politisi sebagai fasilitator dan penghubung antara kepentingan publik dan dinamika politik dalam arus politik utama.

Secara konkret memaknai kekuasaan sebagai kapasitas transformatif mensyaratkan keterlibatan dan melekatnya para politisi terus-menerus dalam kolaborasi dengan gerakan sosial warga negara yang beragam, seperti gerakan sosial pedesaan, perempuan, lingkungan hidup, buruh, gerakan antikorupsi dalam posisi mereka sebagai politisi.

Tugas politisi progresif dalam konteks politik di Indonesia mensyaratkan komitmen mereka memanfaatkan legitimasi demokratik yang mereka peroleh dari kemenangan pemilu untuk memajukan dan memperkuat kontrol politik warga terhadap ruang politik. Strategi politik dari para politisi progresif untuk menciptakan perjuangan politik kewargaan melalui kombinasi demokrasi perwakilan dan demokrasi partisipatoris dalam menghadirkan kepentingan publik pada arus politik utama adalah tantangan bagi komitmen nilai-nilai progresif bagi para politisi.

Tentunya tugas ini tidak dapat kita pasrahkan kepada para politisi, bahkan politisi yang sebelumnya kita anggap memiliki integritas politik tinggi. Hanya akumulasi tekanan politik dari kekuatan akar rumput yang kuat yang mampu memaksa dan menyadarkan mereka untuk memaknai politik dan kekuasaan dari sudut pandang kepentingan rakyat.

Airlangga Pribadi Pengajar Ilmu Politik FISIP dan Koordinator Serikat Dosen Progresif Universitas Airlangga

Kompas, Rabu, 10 Maret 2010 | 02:45 WIB

Baca lanjutannya »»

Kamis, 11 Maret 2010

Alan Woods dan Ted Grant - Reason in Revolt



Reason in Revolt (Bahasa Indonesia)
Ditulis oleh Alan Woods and Ted Grant


Buku ini ditulis oleh Ted Grant dan Alan Woods dan dipublikasikan pertama kalinya pada tahun 1995, yakni 100 tahun setelah wafatnya Engels. Lalu buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan pada tahun 2006 oleh IRE Press (Institute of Research and Empowerment). Buku ini membela kebenaran ide-ide filosofi Marx dan Engels dengan memaparkan penemuan-penemuan ilmiah abad ke 20 yang memberikan konfirmasi terhadap metode filosofi Marxisme, yakni dialektika materialisme.
Baca online.....

Baca lanjutannya »»

Mengenai Otoritas



Written by: Friedrick Engels 1873

Apa itu otoritas? Apa basis material dari otoritas? Disini Engels menjawab kaum Anarkis mengenai prinsip otoritas. Mereka yang tidak percaya otoritas maka tidak percaya akan revolusi proletar, karena revolusi proletar adalah hal yang paling otoriter dimana kelas buruh memaksakan kehendaknya kepada kelas kapitalis untuk menyerahkan kendali dan kepemilikan pabrik and ekonomi. Kelas buruh pun harus menggunakan otoritasnya untuk melawan perlawanan kelas kapitalis yang ingin melaksanakan konter-revolusi karena tidak ada kelas penguasa yang akan begitu saja menyerahkan kekuasaannya.

Baru-baru ini sejumlah kaum Sosialis melancarkan sebuah perang suci untuk melawan apa yang mereka sebut prinsip otoritas. Kita cukup mengatakan kepada mereka bahwa perbuatan ini atau itu adalah otoriter dan mereka akan mengutuknya. Cara berpikir seperti ini sudah sangat disalahgunakan sehingga kita perlu menelaah masalah ini lebih dekat.

Otoritas, dalam makna yang dipakai di sini, berarti: pemaksaan kehendak pihak lain terhadap kehendak kita; selain itu, otoritas mensyaratkan subordinasi. Karena kedua kata ini terdengar buruk, dan relasi yang mereka wakilkan tidak diminati oleh pihak yang tertundukkan, maka pertanyaan yang harus dijawab adalah apakah ada cara untuk menyingkirkan otoritas, apakah – menilik kondisi dari masyarakat hari ini – kita dapat menciptakan sebuah sistem dimana otoritas tidak akan lagi diberikan ruang dan oleh karena itu harus menghilang.


Dengan memperhatikan kondisi-kondisi ekonomi, industri, dan pertanian yang membentuk dasar dari masyarakat borjuis hari ini, kita menemukan bahwa kondisi-kondisi tersebut semakin menggantikan aksi yang terisolasi dengan aksi gabungan dari individu-individu. Industri moderen, dengan pabrik-pabrik besarnya, dimana ratusan buruh menjalankan mesin-mesin yang kompleks yang dijalankan oleh tenaga uap, telah menggantikan bengkel-bengkel kecil dari produsen-produsen yang terpisah; gerobak-gerobak dan kereta kuda telah digantikan dengan rel kereta api, seperti halnya kapal layar kecil telah digantikan dengan kapal uap. Bahkan pertanian semakin didominasi oleh mesin dan uap, yang perlahan-lahan tetapi tanpa kompromi menggantikan para petani kecil dengan kapitalis-kapitalis besar, yang dengan bantuan buruh bayaran membajak lahan yang luas.

Dimana-mana aksi gabungan, proses yang menjadi semakin kompleks yang bergantung satu sama lain, menggantikan aksi independen individu. Tetapi siapapun yang berbicara mengenai aksi gabungan harus berbicara mengenai organisasi; sekarang, apakah mungkin sebuah organisasi eksis tanpa otoritas?

Andaikata sebuah revolusi sosial menumbangkan kelas kapitalis, yang sekarang memiliki otoritas atas produksi dan sirkulasi kekayaan. Andaikata, dengan mengadopsi sudut pandang kaum anti-otoritas secara keseluruhan, tanah dan alat produksi telah menjadi properti kolektif dari buruh yang menggunakan mereka. Apakah otoritas akan menghilang, atau apakah ia hanya akan berubah bentuk? Mari kita lihat.

Mari kita ambil contoh sebuah pabrik pemintal kapas. Kapas ini harus melewati setidaknya enam proses produksi berturut-turut sebelum ia menjadi benang, dan proses-proses produksi ini dilakukan sebagian besar di ruang-ruang terpisah. Terlebih lagi, untuk menjaga jalannya mesin-mesin kita membutuhkan seorang teknisi untuk mengawasi mesin uap, mekanik untuk memperbaiki mesin tersebut, dan banyak buruh lainnya yang pekerjaannya adalah memindahkan produk-produk dari satu ruang ke ruang yang lain, dan seterusnya. Semua buruh ini, pria, perempuan dan anak-anak, harus memulai dan mengakhiri kerja mereka pada waktu yang ditentukan oleh otoritas mesin uap, yang tidak memperdulikan otonomi individual. Maka dari itu, para buruh harus pertama-tama memahami waktu kerja; dan waktu ini, setelah mereka ditentukan, harus dipatuhi oleh semua buruh, tanpa ada pengecualian. Dari sini, bila ada masalah yang timbul di satu ruang produksi dan pada setiap saat mengenai cara produksi, distribusi barang, dll., yang harus diselesaikan oleh keputusan dari seorang delegasi yang dipilih di setiap cabang produksi, atau jika memungkinkan diselesaikan dengan keputusan mayoritas, kehendak seorang individu harus selalu tunduk, yang berarti bahwa masalah tersebut diselesaikan dengan cara yang otoriter. Mesin-mesin otomatis di pabrik besar jauh lebih despotik daripada kapitalis-kapitalis kecil. Setidaknya berhubungan dengan waktu kerja, kita dapat menulis di pintu masuk pabrik-pabrik ini: Lasciate ogni autonomia, voi che entrante! [Kalian yang masuk kesini, tinggalkan semua otonomi Anda!]

Bila manusia, dengan menggunakan pengetahuan dan kejeniusan mereka, telah menundukkan kekuatan alam, maka yang belakangan ini membalas dendam dengan menundukkan manusia di bawah despotisme yang independen dari semua organisasi sosial, selama manusia menggunakan kekuatan alam ini. Ingin menghapus otoritas di dalam industri skala besar berarti ingin menghapus industri itu sendiri, menghancurkan mesin tenun untuk kembali ke pemintal tangan.

Mari kita ambil contoh yang lain – rel kereta api. Disini juga kerjasama dari banyak individu sangat dibutuhkan, dan kerjasama ini harus dilakukan dengan ketepatan waktu yang ketat supaya kecelakaan tidak terjadi. Disini, juga, syarat pertama dari pekerjaan ini adalah sebuah kehendak yang dominan yang akan menyelesaikan semua masalah sekunder, baik kehendak ini diwakilkan oleh seorang delegasi atau sebuah komite yang diberi tanggungjawab untuk melaksanakan keputusan-keputusan dari mayoritas orang yang terlibat. Dalam kedua kasus ini, ada sebuah otoritas yang sangat jelas. Terlebih lagi, apa yang akan terjadi pada sebuah kereta api bila otoritas pekerja kereta api atas para penumpang yang terhormat dihapuskan?

Tetapi perlunya otoritas, dan otoritas yang penuh dalam hal ini, paling jelas ditemukan di atas sebuah kapal laut di tengah samudra. Di sana, pada saat yang berbahaya, nyawa dari semua penumpang tergantung pada kepatuhan yang segera dan langsung dari semua penumpang pada kehendak satu orang.

Ketika saya menghantarkan argumen seperti ini kepada kaum anti-otoritas yang paling fanatik, satu-satunya jawaban yang bisa mereka berikan ke saya adalah: Ya, itu benar, tetapi itu bukanlah otoritas yang kita berikan kepada delegasi kita, tetapi yang dipercayakan kepada sebuah komisi! Orang-orang terhormat ini mengira bahwa dengan merubah nama mereka telah merubah arti sesungguhnya dari suatu hal. Beginilah cara para pemikir terpandai ini mengejek seluruh dunia.

Maka dari itu, kita telah melihat di satu pihak sebuah otoritas tertentu, biarpun bagaimanapun ia didelegasi, dan di pihak lain sebuah subordinasi tertentu, adalah satu hal yang, independen dari semua organisasi sosial, dipaksakan kepada kita semua oleh kondisi material dimana kita memproduksi dan mendistribusikan barang.

Selain itu, kita telah melihat bahwa kondisi material produksi dan distribusi secara tak terelakkan berkembang dengan industri dan pertanian skala-besar, dan cenderung semakin memperluas cakupan otoritas ini. Oleh karena itu, adalah konyol untuk mengganggap prinsip otoritas sebagai sesuatu yang jahat secara absolut, dan prinsip otonomi sebagai sesuatu yang baik secara absolut. Otoritas dan otonomi adalah hal yang relatif yang cakupannya berubah sesuai dengan tahapan-tahapan perkembangan masyarakat yang berbeda-beda. Bila kaum otonomis berpendapat bahwa organisasi sosial masa depan akan membatasi otoritas sejauh yang diperbolehkan oleh kondisi produksi, maka kita dapat mengerti satu sama lain; tetapi mereka buta terhadap semua kenyataan yang penting dan mereka secara bersemangat memerangi dunia.

Mengapa kaum anti-otoritas tidak membatasi diri mereka mengutuk otoritas politik, yakni negara? Semua kaum Sosialis setuju bahwa negara, dan dengannya otoritas politik, akan menghilang sebagai hasil dari revolusi sosial yang mendatang, yakni fungsi-fungsi publik akan kehilangan karakter politiknya dan akan diubah menjadi sekedar fungsi-fungsi administratif untuk mengawasi kepentingan sejati dari seluruh masyarakat. Tetapi kaum anti-otoritas menuntut negara dihapuskan dalam satu malam, bahkan sebelum kondisi sosial yang melahirkan negara tersebut dihancurkan. Mereka menuntut bahwa tindakan pertama dari revolusi sosial adalah penghapusan otoritas. Apakah orang-orang terhormat ini tidak pernah menyaksikan revolusi? Sebuah revolusi adalah hal yang paling otoritas; sebuah revolusi adalah satu tindakan dimana sebagian populasi memaksakan kehendaknya pada sebagian populasi lainnya dengan senapan, bayonet, dan meriam – yakni cara yang otoriter; dan bila pihak yang menang tidak ingin berjuang sia-sia, maka ia harus mempertahankan kekuasaannya dengan meneror kaum reaksioner melalui senjatanya. Dapatkah Komune Paris bertahan satu hari bila ia tidak menggunakan otoritas rakyat bersenjata melawan kaum borjuis? Sebaliknya, tidakkah kita seharusnya mengeritik Komune Paris karena mereka tidak menggunakan otoritasnya dengan penuh?

Oleh karena itu, hanya ada satu jawaban: kaum anti-otoritas tidak tahu apa mereka bicarakan, dalam hal ini mereka hanya menciptakan kebingungan; atau mereka tahu apa yang mereka bicarakan, dan dalam hal ini mereka mengkhianati gerakan proletariat. Biar bagaimanapun, mereka membantu kaum reaksi.

Source: Militan

Baca lanjutannya »»

Rabu, 03 Maret 2010

Oposisi Sebagai Rasionalitas Politik

Dipandang dari etika kebebasan (demokrasi), politik oposisi dapat dikatakan sebagai kegiatan parlementarian yang paling terhormat. Dalam tangga demokrasi dia mampu menempati ukuran tertinggi sebab mampu mencegah adanya ancaman mayoritarianisme. Paham yang menyatakan bahwa the winner takes all dapat dikurangi atau dihambat dengan adanya falibilism dalam etika berdemokrasi. Prinsip ini menyatakan bahwa adanya perwakilan politik tidak selalu menjamin identik dengan penyerahan kedaulatan rakyat. Padahal kita tahu bahwa perwakilan rakyat itu temporer sifatnya sedangkan kedaulatan itu permanent. Sehingga pemberian suara dalam pemilihan umum bukanlah berarti penyerahan kedaulatan dari rakyat. Untuk itu kritik dan oposisi hasrus menjadi permanent dalam kehidupan demokrasi.



Selama ini belum ada pelembagaan oposisi sebagai bagian dari unsur demokrasi secara nyata, yang ada hanya pada tataran teoritis saja. Padahal kita tahu dengan menjalankan demokrasi maka, konsekuensinya adalah adanya oposisi, sebagai pengawas yang independen. Meskipun hal ini bertentangan dengan wahana kebudayaan masyarakat Indonesia, yang selama ini justru hanya menghambat perjalanan demokrasi dan cenderung membenarkan gaya politik otoriter pada masa orde baru.

Politik oposisi adalah nilai yang melekat pada demokrasi, jika demokrasi dimengerti sebagai transaksi politik yang sekuler, maka konsekuensinya setiap hasil transaksi terbuka untuk dipersoalkan ulang. Oposisi dimaksudkan untuk menjamin keterbukaan demokrasi dan memastikan bahwa monopoli kebenaran atas dasar apapun tidak boleh terjadi. Sehingga terbukti bahwa politik berfungsi untuk menjaga netralitas ruang public. Metodenya dapat dilakukan melalui penyediaan alternative pandangan dan pemikiran untuk diuji secara rasional berdasarkan kekuatan argumentative.

Masalah besar akan muncul jika sebuah pemerintahan transisi tidak meletakkan dasar-dasar kebudayaan politik rasional, plural dan demokrastis secepatnya. Tidak adanya pengelaman politik plural selama masa otoritarianisme merupakan kekosongan yang sangat berbahaya bagi konsolidasi demokrasi dimasa transisi, dan tentunya akan menimbulkan efek buruk bagi perkembangan politik selanjutnya.

Fungsi kreatif dari demokrasi adalah oposisi, yakni bukan saja berarti pembenaran secara legal terhadap hak untuk mengkritik sebuah pemerintahan yang sah, tetapi juga diselenggarakan untuk menjamin rasionalitas dan partisipasi popular dalam pengambilan keputusan. Inilah yang dikatakan oleh J. Stuart Mill bahwa kendati sekelompok orang tidak terwakili melalui system pemilu yang sah, namun mereka tetap dapat berperan melalui diskursus public guna ikut mempengaruhi pengambilan keputusan public. Sehingga demokrasi mampu melalui partisipasi rasional dari seluruh warga Negara. Akibatnya demokrasi dapat dicegah untuk menjadi alat politik mayoritas semata.

Demokrasi menyediakan adanya fasilitas untuk mengoreksi dirinya sendiri demi perkembangan kemanusiaan yang lebih baik. Demokrasi percaya bahwa peluang untuk berbuat kesalahan adalah positif bagi kemajuan manusia, sedangkan pemutlakan kebenaran adalah pengahalang bagi kemanusiaan. Itulah sebabnya diskusi dan perdebatan public harus dilakukan secara rasional dan terus menerus. Dengan begitu kesalahan politik dapat terus diperbaiki tanpa pernah mencapai pemutlakan, karena pemutlakan berarti berhentinya kebebasan. Hakekat demokrasi ada dalam debat publik.

Kontrol terhadap kekuasaan menurut Jaspers adalah melibatkan tiga kebiatan bersama, yaitu melalui perselisihan akademis tentang suatu isu politik, melalui distribusi kekuasaan dan melalui pemilu. Ini semua mengandaikan sekaligus mengandalkan adanya kondisi rasionalitas di dalam masyarakat. Pemilu adalah kesempatan resmi untuk menguji ulang legitimasi kekuasaan. Ini memerlukan publik yang rasional, yang dapat melakukan evaluasi berdasarkan akal sehat seluruh penampilan politik kekuasaan. Dengan akal sehat publik akan terhindar retorika para demagog yang sekedar meraih suara dengan slogan dan permainan emosi semata. Oposisi dalam demokrasi dimaksudkan untuk mencegah demagogisasi politik, dan sebaliknya melatih publik untuk menjatuhkan pilihan berdasarkan suatu kalkulasi rasional.

Secara kelembagaan, kondisi rasional bagi politik oposisi sudah tersedia dengan adanya distribusi kekuasaan kedalam lembaga-lembaga politik yang saling mengimbangi. Tetapi kondisi ini tetap rawan manipulasi karena kepentingan antar-elit dapat berkompromi untuk menahan tuntutan-tuntutan popular yang berasal dari luar struktur politik formal. Itulah sebabnya wilayah oposisi harus juga mencakup institusi-institusi independen yang tidak punya kepentingan langsung dengan kekuasaan, selain sekedar berusaha memelihara kondisi rasionalitas di dalam masyarakat. Disinilah menjadi penting peran universitas dan pers di dalam ikut merawat akal sehat seluruh bangsa.

Sehingga tidak ada alasan lain lagi untuk menolak oposisi, jika memang kita masih berpegang teguh pada kata ”demokrasi”

Oleh : Slamet Riyanto.

Sumber : http://riyanstpdn.multiply.com/journal/item/11

Baca lanjutannya »»