Rabu, 31 Maret 2010

Mencari Politisi Progresif

Oleh : Airlangga Pribadi

Saat arus politik utama di Indonesia mempertontonkan tindakan elite-elite politik yang miskin integritas dan komitmen publik, maraknya para mantan aktivis gerakan mahasiswa melompati pagar untuk memasuki partai politik sering dianggap sebagai pengkhianatan atas perjuangan awalnya.

Persoalan menjaga komitmen perjuangan politik bukanlah persoalan pada wilayah aktivitas, baik di dalam maupun di luar sistem. Komitmen para politisi akan teruji ketika dalam praksis politiknya mereka tetap konsisten memiliki visi kekuasaan progresif. Visi kekuasaan yang menghadirkan rakyat sebagai kekuatan utama dalam melakukan kontrol terhadap arena politik ataupun perubahan di dalamnya.

Ke depan, kita akan menyaksikan sepak terjang para elite politik muda di DPR yang mengawali karier politik sebagai aktivis gerakan mahasiswa, seperti Budiman Sudjatmiko, Pius Lustrilanang, Anas Urbaningrum, dan Andi Rakhmat. Sejarah akan mencatat apakah kiprah mereka membenarkan gambaran dominan bahwa ruang politik dan orang-orang di dalamnya nista dan kotor ataukah mereka tampil membawa perubahan lebih baik dalam arena politik.

Mampukah mereka mempertahankan komitmen pada keadilan publik, di tengah arena politik Indonesia yang bergerak dalam logika kepentingan elite yang berjarak dari publik daripada logika komitmen politik yang melekat pada kepentingan publik.



Perjuangan para elite politik baru ini tidaklah mudah dalam ruang politik Indonesia. Struktur kesempatan politik yang tersedia tak memberikan pilihan banyak untuk melakukan perubahan-perubahan politik yang bermakna. Kerap kali upaya-upaya untuk memperlihatkan komitmen para politisi muda terhadap kehendak rakyat masih harus berhadapan dengan tembok besar oligarki politik elite. Para elite politik utama yang masih mengalkulasi setiap langkah politik mereka semata-mata sebagai kesempatan untuk mengakumulasi pertambahan modal ataupun kekuasaan politik mereka sendiri.

Kehendak menarik garis sejajar antara tindakan politik politisi dan suara publik masih harus berhadapan dengan tembok besar kepentingan elite-elite utama partai yang memegang kunci tertinggi kebijakan politik di internal partai. Ilustrasi yang merisaukan dari kenyataan ini muncul tak lama setelah publik mulai berharap terbitnya titik cerah dalam wilayah politik ketika mayoritas suara legislator dianggap sejalan dengan komitmen keadilan publik, permainan politik elite segera tampil mengedepan.

Keberhasilan para legislator memenangkan opsi C yang menegaskan adanya penyimpangan hukum dan penyelesaian melalui jalur hukum dalam bail out Bank Century segera diikuti, misalnya, oleh munculnya wacana untuk merapat pada koalisi pemerintahan SBY di internal tubuh elite PDI Perjuangan (kekuatan oposisi terbesar saat ini) dalam kongres mendatang (Kompas, 8 Maret 2010). Wacana ini muncul hanya karena kelelahan politik untuk setia pada pilihan oposisi yang tidak memberikan sumber daya ekonomi dan kue kekuasaan yang besar bagi partai.

Munculnya gagasan tersebut di internal elite partai memperlihatkan bahwa dukungan suara publik masih belum dimaknai oleh elite politik sebagai modal sosial untuk mengartikulasikan keresahan publik dan konsistensi mereka untuk berpijak dalam posisi politik yang autentik. Arus dukungan publik dan tekanan politik lagi-lagi masih dimaknai oleh elite-elite utama partai sebagai modal untuk melakukan transaksi politik bagi kepentingan merapat pada kekuasaan.

Kapasitas transformatif

Setiap proses dan dinamika politik dimaknai oleh elite sebagai peristiwa yang lahir dari interaksi politik dan transaksi kepentingan di antara mereka. Publik dalam konteks politik seperti ini hanya jadi penonton ataupun suporter. Masyarakat hanya dipandang sebagai pihak yang menerima akibat dari tindakan yang dilakukan elite politik. Tentu tidak mudah bagi para elite politik berlatar aktivis melakukan kerja perubahan dalam lingkungan politik di Indonesia yang teralienasi dari kehendak publik ataupun konstituennya. Untuk memperjuangkan hadirnya politik progresif di Indonesia, para politisi-aktivis yang berkomitmen harus terlebih dahulu berpikir keluar dari perspektif kekuasaan sebagai praktik dominasi.

Seperti diutarakan aktivis gerakan sosial transnasional Hilary Wainwright (2009) dalam Rethinking Political Organisation, realitas politik kontemporer butuh pemahaman baru akan praktik kekuasaan. Kekuasaan haruslah dimaknai bukan sebagai praktik dominasi, tetapi praksis untuk menggerakkan kapasitas transformasi bersama rakyat (power as transformative capacity). Rakyat adalah subyek dalam proses politik yang menempatkan politisi sebagai fasilitator dan penghubung antara kepentingan publik dan dinamika politik dalam arus politik utama.

Secara konkret memaknai kekuasaan sebagai kapasitas transformatif mensyaratkan keterlibatan dan melekatnya para politisi terus-menerus dalam kolaborasi dengan gerakan sosial warga negara yang beragam, seperti gerakan sosial pedesaan, perempuan, lingkungan hidup, buruh, gerakan antikorupsi dalam posisi mereka sebagai politisi.

Tugas politisi progresif dalam konteks politik di Indonesia mensyaratkan komitmen mereka memanfaatkan legitimasi demokratik yang mereka peroleh dari kemenangan pemilu untuk memajukan dan memperkuat kontrol politik warga terhadap ruang politik. Strategi politik dari para politisi progresif untuk menciptakan perjuangan politik kewargaan melalui kombinasi demokrasi perwakilan dan demokrasi partisipatoris dalam menghadirkan kepentingan publik pada arus politik utama adalah tantangan bagi komitmen nilai-nilai progresif bagi para politisi.

Tentunya tugas ini tidak dapat kita pasrahkan kepada para politisi, bahkan politisi yang sebelumnya kita anggap memiliki integritas politik tinggi. Hanya akumulasi tekanan politik dari kekuatan akar rumput yang kuat yang mampu memaksa dan menyadarkan mereka untuk memaknai politik dan kekuasaan dari sudut pandang kepentingan rakyat.

Airlangga Pribadi Pengajar Ilmu Politik FISIP dan Koordinator Serikat Dosen Progresif Universitas Airlangga

Kompas, Rabu, 10 Maret 2010 | 02:45 WIB

Baca lanjutannya »»

Kamis, 11 Maret 2010

Alan Woods dan Ted Grant - Reason in Revolt



Reason in Revolt (Bahasa Indonesia)
Ditulis oleh Alan Woods and Ted Grant


Buku ini ditulis oleh Ted Grant dan Alan Woods dan dipublikasikan pertama kalinya pada tahun 1995, yakni 100 tahun setelah wafatnya Engels. Lalu buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan pada tahun 2006 oleh IRE Press (Institute of Research and Empowerment). Buku ini membela kebenaran ide-ide filosofi Marx dan Engels dengan memaparkan penemuan-penemuan ilmiah abad ke 20 yang memberikan konfirmasi terhadap metode filosofi Marxisme, yakni dialektika materialisme.
Baca online.....

Baca lanjutannya »»

Mengenai Otoritas



Written by: Friedrick Engels 1873

Apa itu otoritas? Apa basis material dari otoritas? Disini Engels menjawab kaum Anarkis mengenai prinsip otoritas. Mereka yang tidak percaya otoritas maka tidak percaya akan revolusi proletar, karena revolusi proletar adalah hal yang paling otoriter dimana kelas buruh memaksakan kehendaknya kepada kelas kapitalis untuk menyerahkan kendali dan kepemilikan pabrik and ekonomi. Kelas buruh pun harus menggunakan otoritasnya untuk melawan perlawanan kelas kapitalis yang ingin melaksanakan konter-revolusi karena tidak ada kelas penguasa yang akan begitu saja menyerahkan kekuasaannya.

Baru-baru ini sejumlah kaum Sosialis melancarkan sebuah perang suci untuk melawan apa yang mereka sebut prinsip otoritas. Kita cukup mengatakan kepada mereka bahwa perbuatan ini atau itu adalah otoriter dan mereka akan mengutuknya. Cara berpikir seperti ini sudah sangat disalahgunakan sehingga kita perlu menelaah masalah ini lebih dekat.

Otoritas, dalam makna yang dipakai di sini, berarti: pemaksaan kehendak pihak lain terhadap kehendak kita; selain itu, otoritas mensyaratkan subordinasi. Karena kedua kata ini terdengar buruk, dan relasi yang mereka wakilkan tidak diminati oleh pihak yang tertundukkan, maka pertanyaan yang harus dijawab adalah apakah ada cara untuk menyingkirkan otoritas, apakah – menilik kondisi dari masyarakat hari ini – kita dapat menciptakan sebuah sistem dimana otoritas tidak akan lagi diberikan ruang dan oleh karena itu harus menghilang.


Dengan memperhatikan kondisi-kondisi ekonomi, industri, dan pertanian yang membentuk dasar dari masyarakat borjuis hari ini, kita menemukan bahwa kondisi-kondisi tersebut semakin menggantikan aksi yang terisolasi dengan aksi gabungan dari individu-individu. Industri moderen, dengan pabrik-pabrik besarnya, dimana ratusan buruh menjalankan mesin-mesin yang kompleks yang dijalankan oleh tenaga uap, telah menggantikan bengkel-bengkel kecil dari produsen-produsen yang terpisah; gerobak-gerobak dan kereta kuda telah digantikan dengan rel kereta api, seperti halnya kapal layar kecil telah digantikan dengan kapal uap. Bahkan pertanian semakin didominasi oleh mesin dan uap, yang perlahan-lahan tetapi tanpa kompromi menggantikan para petani kecil dengan kapitalis-kapitalis besar, yang dengan bantuan buruh bayaran membajak lahan yang luas.

Dimana-mana aksi gabungan, proses yang menjadi semakin kompleks yang bergantung satu sama lain, menggantikan aksi independen individu. Tetapi siapapun yang berbicara mengenai aksi gabungan harus berbicara mengenai organisasi; sekarang, apakah mungkin sebuah organisasi eksis tanpa otoritas?

Andaikata sebuah revolusi sosial menumbangkan kelas kapitalis, yang sekarang memiliki otoritas atas produksi dan sirkulasi kekayaan. Andaikata, dengan mengadopsi sudut pandang kaum anti-otoritas secara keseluruhan, tanah dan alat produksi telah menjadi properti kolektif dari buruh yang menggunakan mereka. Apakah otoritas akan menghilang, atau apakah ia hanya akan berubah bentuk? Mari kita lihat.

Mari kita ambil contoh sebuah pabrik pemintal kapas. Kapas ini harus melewati setidaknya enam proses produksi berturut-turut sebelum ia menjadi benang, dan proses-proses produksi ini dilakukan sebagian besar di ruang-ruang terpisah. Terlebih lagi, untuk menjaga jalannya mesin-mesin kita membutuhkan seorang teknisi untuk mengawasi mesin uap, mekanik untuk memperbaiki mesin tersebut, dan banyak buruh lainnya yang pekerjaannya adalah memindahkan produk-produk dari satu ruang ke ruang yang lain, dan seterusnya. Semua buruh ini, pria, perempuan dan anak-anak, harus memulai dan mengakhiri kerja mereka pada waktu yang ditentukan oleh otoritas mesin uap, yang tidak memperdulikan otonomi individual. Maka dari itu, para buruh harus pertama-tama memahami waktu kerja; dan waktu ini, setelah mereka ditentukan, harus dipatuhi oleh semua buruh, tanpa ada pengecualian. Dari sini, bila ada masalah yang timbul di satu ruang produksi dan pada setiap saat mengenai cara produksi, distribusi barang, dll., yang harus diselesaikan oleh keputusan dari seorang delegasi yang dipilih di setiap cabang produksi, atau jika memungkinkan diselesaikan dengan keputusan mayoritas, kehendak seorang individu harus selalu tunduk, yang berarti bahwa masalah tersebut diselesaikan dengan cara yang otoriter. Mesin-mesin otomatis di pabrik besar jauh lebih despotik daripada kapitalis-kapitalis kecil. Setidaknya berhubungan dengan waktu kerja, kita dapat menulis di pintu masuk pabrik-pabrik ini: Lasciate ogni autonomia, voi che entrante! [Kalian yang masuk kesini, tinggalkan semua otonomi Anda!]

Bila manusia, dengan menggunakan pengetahuan dan kejeniusan mereka, telah menundukkan kekuatan alam, maka yang belakangan ini membalas dendam dengan menundukkan manusia di bawah despotisme yang independen dari semua organisasi sosial, selama manusia menggunakan kekuatan alam ini. Ingin menghapus otoritas di dalam industri skala besar berarti ingin menghapus industri itu sendiri, menghancurkan mesin tenun untuk kembali ke pemintal tangan.

Mari kita ambil contoh yang lain – rel kereta api. Disini juga kerjasama dari banyak individu sangat dibutuhkan, dan kerjasama ini harus dilakukan dengan ketepatan waktu yang ketat supaya kecelakaan tidak terjadi. Disini, juga, syarat pertama dari pekerjaan ini adalah sebuah kehendak yang dominan yang akan menyelesaikan semua masalah sekunder, baik kehendak ini diwakilkan oleh seorang delegasi atau sebuah komite yang diberi tanggungjawab untuk melaksanakan keputusan-keputusan dari mayoritas orang yang terlibat. Dalam kedua kasus ini, ada sebuah otoritas yang sangat jelas. Terlebih lagi, apa yang akan terjadi pada sebuah kereta api bila otoritas pekerja kereta api atas para penumpang yang terhormat dihapuskan?

Tetapi perlunya otoritas, dan otoritas yang penuh dalam hal ini, paling jelas ditemukan di atas sebuah kapal laut di tengah samudra. Di sana, pada saat yang berbahaya, nyawa dari semua penumpang tergantung pada kepatuhan yang segera dan langsung dari semua penumpang pada kehendak satu orang.

Ketika saya menghantarkan argumen seperti ini kepada kaum anti-otoritas yang paling fanatik, satu-satunya jawaban yang bisa mereka berikan ke saya adalah: Ya, itu benar, tetapi itu bukanlah otoritas yang kita berikan kepada delegasi kita, tetapi yang dipercayakan kepada sebuah komisi! Orang-orang terhormat ini mengira bahwa dengan merubah nama mereka telah merubah arti sesungguhnya dari suatu hal. Beginilah cara para pemikir terpandai ini mengejek seluruh dunia.

Maka dari itu, kita telah melihat di satu pihak sebuah otoritas tertentu, biarpun bagaimanapun ia didelegasi, dan di pihak lain sebuah subordinasi tertentu, adalah satu hal yang, independen dari semua organisasi sosial, dipaksakan kepada kita semua oleh kondisi material dimana kita memproduksi dan mendistribusikan barang.

Selain itu, kita telah melihat bahwa kondisi material produksi dan distribusi secara tak terelakkan berkembang dengan industri dan pertanian skala-besar, dan cenderung semakin memperluas cakupan otoritas ini. Oleh karena itu, adalah konyol untuk mengganggap prinsip otoritas sebagai sesuatu yang jahat secara absolut, dan prinsip otonomi sebagai sesuatu yang baik secara absolut. Otoritas dan otonomi adalah hal yang relatif yang cakupannya berubah sesuai dengan tahapan-tahapan perkembangan masyarakat yang berbeda-beda. Bila kaum otonomis berpendapat bahwa organisasi sosial masa depan akan membatasi otoritas sejauh yang diperbolehkan oleh kondisi produksi, maka kita dapat mengerti satu sama lain; tetapi mereka buta terhadap semua kenyataan yang penting dan mereka secara bersemangat memerangi dunia.

Mengapa kaum anti-otoritas tidak membatasi diri mereka mengutuk otoritas politik, yakni negara? Semua kaum Sosialis setuju bahwa negara, dan dengannya otoritas politik, akan menghilang sebagai hasil dari revolusi sosial yang mendatang, yakni fungsi-fungsi publik akan kehilangan karakter politiknya dan akan diubah menjadi sekedar fungsi-fungsi administratif untuk mengawasi kepentingan sejati dari seluruh masyarakat. Tetapi kaum anti-otoritas menuntut negara dihapuskan dalam satu malam, bahkan sebelum kondisi sosial yang melahirkan negara tersebut dihancurkan. Mereka menuntut bahwa tindakan pertama dari revolusi sosial adalah penghapusan otoritas. Apakah orang-orang terhormat ini tidak pernah menyaksikan revolusi? Sebuah revolusi adalah hal yang paling otoritas; sebuah revolusi adalah satu tindakan dimana sebagian populasi memaksakan kehendaknya pada sebagian populasi lainnya dengan senapan, bayonet, dan meriam – yakni cara yang otoriter; dan bila pihak yang menang tidak ingin berjuang sia-sia, maka ia harus mempertahankan kekuasaannya dengan meneror kaum reaksioner melalui senjatanya. Dapatkah Komune Paris bertahan satu hari bila ia tidak menggunakan otoritas rakyat bersenjata melawan kaum borjuis? Sebaliknya, tidakkah kita seharusnya mengeritik Komune Paris karena mereka tidak menggunakan otoritasnya dengan penuh?

Oleh karena itu, hanya ada satu jawaban: kaum anti-otoritas tidak tahu apa mereka bicarakan, dalam hal ini mereka hanya menciptakan kebingungan; atau mereka tahu apa yang mereka bicarakan, dan dalam hal ini mereka mengkhianati gerakan proletariat. Biar bagaimanapun, mereka membantu kaum reaksi.

Source: Militan

Baca lanjutannya »»

Rabu, 03 Maret 2010

Oposisi Sebagai Rasionalitas Politik

Dipandang dari etika kebebasan (demokrasi), politik oposisi dapat dikatakan sebagai kegiatan parlementarian yang paling terhormat. Dalam tangga demokrasi dia mampu menempati ukuran tertinggi sebab mampu mencegah adanya ancaman mayoritarianisme. Paham yang menyatakan bahwa the winner takes all dapat dikurangi atau dihambat dengan adanya falibilism dalam etika berdemokrasi. Prinsip ini menyatakan bahwa adanya perwakilan politik tidak selalu menjamin identik dengan penyerahan kedaulatan rakyat. Padahal kita tahu bahwa perwakilan rakyat itu temporer sifatnya sedangkan kedaulatan itu permanent. Sehingga pemberian suara dalam pemilihan umum bukanlah berarti penyerahan kedaulatan dari rakyat. Untuk itu kritik dan oposisi hasrus menjadi permanent dalam kehidupan demokrasi.



Selama ini belum ada pelembagaan oposisi sebagai bagian dari unsur demokrasi secara nyata, yang ada hanya pada tataran teoritis saja. Padahal kita tahu dengan menjalankan demokrasi maka, konsekuensinya adalah adanya oposisi, sebagai pengawas yang independen. Meskipun hal ini bertentangan dengan wahana kebudayaan masyarakat Indonesia, yang selama ini justru hanya menghambat perjalanan demokrasi dan cenderung membenarkan gaya politik otoriter pada masa orde baru.

Politik oposisi adalah nilai yang melekat pada demokrasi, jika demokrasi dimengerti sebagai transaksi politik yang sekuler, maka konsekuensinya setiap hasil transaksi terbuka untuk dipersoalkan ulang. Oposisi dimaksudkan untuk menjamin keterbukaan demokrasi dan memastikan bahwa monopoli kebenaran atas dasar apapun tidak boleh terjadi. Sehingga terbukti bahwa politik berfungsi untuk menjaga netralitas ruang public. Metodenya dapat dilakukan melalui penyediaan alternative pandangan dan pemikiran untuk diuji secara rasional berdasarkan kekuatan argumentative.

Masalah besar akan muncul jika sebuah pemerintahan transisi tidak meletakkan dasar-dasar kebudayaan politik rasional, plural dan demokrastis secepatnya. Tidak adanya pengelaman politik plural selama masa otoritarianisme merupakan kekosongan yang sangat berbahaya bagi konsolidasi demokrasi dimasa transisi, dan tentunya akan menimbulkan efek buruk bagi perkembangan politik selanjutnya.

Fungsi kreatif dari demokrasi adalah oposisi, yakni bukan saja berarti pembenaran secara legal terhadap hak untuk mengkritik sebuah pemerintahan yang sah, tetapi juga diselenggarakan untuk menjamin rasionalitas dan partisipasi popular dalam pengambilan keputusan. Inilah yang dikatakan oleh J. Stuart Mill bahwa kendati sekelompok orang tidak terwakili melalui system pemilu yang sah, namun mereka tetap dapat berperan melalui diskursus public guna ikut mempengaruhi pengambilan keputusan public. Sehingga demokrasi mampu melalui partisipasi rasional dari seluruh warga Negara. Akibatnya demokrasi dapat dicegah untuk menjadi alat politik mayoritas semata.

Demokrasi menyediakan adanya fasilitas untuk mengoreksi dirinya sendiri demi perkembangan kemanusiaan yang lebih baik. Demokrasi percaya bahwa peluang untuk berbuat kesalahan adalah positif bagi kemajuan manusia, sedangkan pemutlakan kebenaran adalah pengahalang bagi kemanusiaan. Itulah sebabnya diskusi dan perdebatan public harus dilakukan secara rasional dan terus menerus. Dengan begitu kesalahan politik dapat terus diperbaiki tanpa pernah mencapai pemutlakan, karena pemutlakan berarti berhentinya kebebasan. Hakekat demokrasi ada dalam debat publik.

Kontrol terhadap kekuasaan menurut Jaspers adalah melibatkan tiga kebiatan bersama, yaitu melalui perselisihan akademis tentang suatu isu politik, melalui distribusi kekuasaan dan melalui pemilu. Ini semua mengandaikan sekaligus mengandalkan adanya kondisi rasionalitas di dalam masyarakat. Pemilu adalah kesempatan resmi untuk menguji ulang legitimasi kekuasaan. Ini memerlukan publik yang rasional, yang dapat melakukan evaluasi berdasarkan akal sehat seluruh penampilan politik kekuasaan. Dengan akal sehat publik akan terhindar retorika para demagog yang sekedar meraih suara dengan slogan dan permainan emosi semata. Oposisi dalam demokrasi dimaksudkan untuk mencegah demagogisasi politik, dan sebaliknya melatih publik untuk menjatuhkan pilihan berdasarkan suatu kalkulasi rasional.

Secara kelembagaan, kondisi rasional bagi politik oposisi sudah tersedia dengan adanya distribusi kekuasaan kedalam lembaga-lembaga politik yang saling mengimbangi. Tetapi kondisi ini tetap rawan manipulasi karena kepentingan antar-elit dapat berkompromi untuk menahan tuntutan-tuntutan popular yang berasal dari luar struktur politik formal. Itulah sebabnya wilayah oposisi harus juga mencakup institusi-institusi independen yang tidak punya kepentingan langsung dengan kekuasaan, selain sekedar berusaha memelihara kondisi rasionalitas di dalam masyarakat. Disinilah menjadi penting peran universitas dan pers di dalam ikut merawat akal sehat seluruh bangsa.

Sehingga tidak ada alasan lain lagi untuk menolak oposisi, jika memang kita masih berpegang teguh pada kata ”demokrasi”

Oleh : Slamet Riyanto.

Sumber : http://riyanstpdn.multiply.com/journal/item/11

Baca lanjutannya »»

Ruth T. McVey - Kemunculan Komunisme Indonesia

Judul: Kemunculan Komunisme Indonesia
Penulis: Ruth T. McVey
Cetakan: Pertama, Desember 2009
Penerbit: Komunitas Bambu
Tebal: xxx + 650 hlm
Ukuran: 14 x 21 cm
Isbn: 979-3731-64-8
Harga: Rp. 198.000

“Satu-satunya buku tentang PKI yang serius, sangat rinci, tanpa prasangka, dan objektif. Saya kagum benar.”
- Ben Anderson, Professor Emeritus Cornell University –



Tak ragu lagi, inilah buku yang harus diperhitungkan sebagai telaah paling mendalam mengenai gerakan komunisme Asia. Secara tajam berhasil mengisahkan PKI (Partai Komunis Indonesia), yang pada awal abad ke-20 menggemparkan peta politik internasional. Kemampuan bahasa dan kecendekiawanan McVey unik ketimbang para sarjana Barat peneliti Indonesia. Terutama kemampuannya dalam mensarikan informasi dari wawancara-wawancara pribadi dengan para anggota dan mantan PKI telah menghasilkan sesuatu yang luarbiasa. McVey tak hanya akrab dengan sejarah kolonial Indonesia, juga tahu seluk-beluk gerakan komunis internasional.
Hasilnya adalah penuturan berimbang yang menguraikan sejarah internal PKI yang penuh warna dan peristiwa penting, juga mengenai hubungan PKI yang rapuh dengan Partai Komunis Belanda, pun dengan Komintern. Klimaks buku ini muncul dalam kisah pemberontakan yang gagal pada 1926/1927, dimana semua maksud dan tujuan pemberontakan itu mengakhiri fase pertama setengah abad sejarah PKI.”
- Harry J. Benda, Sejarawan Yale University -

“Kajian yang paling mendalam mengenai PKI hingga 1926–1927, dan memuat banyak bahan tentang gerakan-gerakan politik lainnya pada periode itu, khususnya Sarekat Islam.”
- M.C. Ricklefs, Sejarawan Monash University -

“Karya yang paling berkesan. McVey membawa kita terus-menerus terpesona pada detail yang kaya dalam karyanya.”
- Donald Hindley, Ahli Politik Brandeis University –

“Ditulis dengan cermat, disajikan dengan gamblang dan didokumentasikan secara luas, buku ini merupakan karya cendekia yang brilian.”
- Gerald. S. Maryanov, Ahli Politik Northern Illinois University -

“Karya yang memiliki otoritas besar dan tak ada keraguan sedikit pun akan kekuatan buku ini.”
- J.D. Legge, Sejarawan Monash university -

Baca lanjutannya »»