Rabu, 03 Maret 2010

Oposisi Sebagai Rasionalitas Politik

Dipandang dari etika kebebasan (demokrasi), politik oposisi dapat dikatakan sebagai kegiatan parlementarian yang paling terhormat. Dalam tangga demokrasi dia mampu menempati ukuran tertinggi sebab mampu mencegah adanya ancaman mayoritarianisme. Paham yang menyatakan bahwa the winner takes all dapat dikurangi atau dihambat dengan adanya falibilism dalam etika berdemokrasi. Prinsip ini menyatakan bahwa adanya perwakilan politik tidak selalu menjamin identik dengan penyerahan kedaulatan rakyat. Padahal kita tahu bahwa perwakilan rakyat itu temporer sifatnya sedangkan kedaulatan itu permanent. Sehingga pemberian suara dalam pemilihan umum bukanlah berarti penyerahan kedaulatan dari rakyat. Untuk itu kritik dan oposisi hasrus menjadi permanent dalam kehidupan demokrasi.



Selama ini belum ada pelembagaan oposisi sebagai bagian dari unsur demokrasi secara nyata, yang ada hanya pada tataran teoritis saja. Padahal kita tahu dengan menjalankan demokrasi maka, konsekuensinya adalah adanya oposisi, sebagai pengawas yang independen. Meskipun hal ini bertentangan dengan wahana kebudayaan masyarakat Indonesia, yang selama ini justru hanya menghambat perjalanan demokrasi dan cenderung membenarkan gaya politik otoriter pada masa orde baru.

Politik oposisi adalah nilai yang melekat pada demokrasi, jika demokrasi dimengerti sebagai transaksi politik yang sekuler, maka konsekuensinya setiap hasil transaksi terbuka untuk dipersoalkan ulang. Oposisi dimaksudkan untuk menjamin keterbukaan demokrasi dan memastikan bahwa monopoli kebenaran atas dasar apapun tidak boleh terjadi. Sehingga terbukti bahwa politik berfungsi untuk menjaga netralitas ruang public. Metodenya dapat dilakukan melalui penyediaan alternative pandangan dan pemikiran untuk diuji secara rasional berdasarkan kekuatan argumentative.

Masalah besar akan muncul jika sebuah pemerintahan transisi tidak meletakkan dasar-dasar kebudayaan politik rasional, plural dan demokrastis secepatnya. Tidak adanya pengelaman politik plural selama masa otoritarianisme merupakan kekosongan yang sangat berbahaya bagi konsolidasi demokrasi dimasa transisi, dan tentunya akan menimbulkan efek buruk bagi perkembangan politik selanjutnya.

Fungsi kreatif dari demokrasi adalah oposisi, yakni bukan saja berarti pembenaran secara legal terhadap hak untuk mengkritik sebuah pemerintahan yang sah, tetapi juga diselenggarakan untuk menjamin rasionalitas dan partisipasi popular dalam pengambilan keputusan. Inilah yang dikatakan oleh J. Stuart Mill bahwa kendati sekelompok orang tidak terwakili melalui system pemilu yang sah, namun mereka tetap dapat berperan melalui diskursus public guna ikut mempengaruhi pengambilan keputusan public. Sehingga demokrasi mampu melalui partisipasi rasional dari seluruh warga Negara. Akibatnya demokrasi dapat dicegah untuk menjadi alat politik mayoritas semata.

Demokrasi menyediakan adanya fasilitas untuk mengoreksi dirinya sendiri demi perkembangan kemanusiaan yang lebih baik. Demokrasi percaya bahwa peluang untuk berbuat kesalahan adalah positif bagi kemajuan manusia, sedangkan pemutlakan kebenaran adalah pengahalang bagi kemanusiaan. Itulah sebabnya diskusi dan perdebatan public harus dilakukan secara rasional dan terus menerus. Dengan begitu kesalahan politik dapat terus diperbaiki tanpa pernah mencapai pemutlakan, karena pemutlakan berarti berhentinya kebebasan. Hakekat demokrasi ada dalam debat publik.

Kontrol terhadap kekuasaan menurut Jaspers adalah melibatkan tiga kebiatan bersama, yaitu melalui perselisihan akademis tentang suatu isu politik, melalui distribusi kekuasaan dan melalui pemilu. Ini semua mengandaikan sekaligus mengandalkan adanya kondisi rasionalitas di dalam masyarakat. Pemilu adalah kesempatan resmi untuk menguji ulang legitimasi kekuasaan. Ini memerlukan publik yang rasional, yang dapat melakukan evaluasi berdasarkan akal sehat seluruh penampilan politik kekuasaan. Dengan akal sehat publik akan terhindar retorika para demagog yang sekedar meraih suara dengan slogan dan permainan emosi semata. Oposisi dalam demokrasi dimaksudkan untuk mencegah demagogisasi politik, dan sebaliknya melatih publik untuk menjatuhkan pilihan berdasarkan suatu kalkulasi rasional.

Secara kelembagaan, kondisi rasional bagi politik oposisi sudah tersedia dengan adanya distribusi kekuasaan kedalam lembaga-lembaga politik yang saling mengimbangi. Tetapi kondisi ini tetap rawan manipulasi karena kepentingan antar-elit dapat berkompromi untuk menahan tuntutan-tuntutan popular yang berasal dari luar struktur politik formal. Itulah sebabnya wilayah oposisi harus juga mencakup institusi-institusi independen yang tidak punya kepentingan langsung dengan kekuasaan, selain sekedar berusaha memelihara kondisi rasionalitas di dalam masyarakat. Disinilah menjadi penting peran universitas dan pers di dalam ikut merawat akal sehat seluruh bangsa.

Sehingga tidak ada alasan lain lagi untuk menolak oposisi, jika memang kita masih berpegang teguh pada kata ”demokrasi”

Oleh : Slamet Riyanto.

Sumber : http://riyanstpdn.multiply.com/journal/item/11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar